Kamis, 08 Juni 2023

BANALITAS KEJAHATAN PENDIDIKAN INDONESIA: LONCENG KEMATIAN PENALARAN KAMPUS

"Pendidikan adalah senjata paling mematikan di dunia, karena dengan pendidikan, anda dapat mengubah dunia". Nelson Mandela.

Pendidikan merupakan hal penting dalam kehidupan serta harus dilibatkan dalam setiap aspek kehidupan. Pendidikan memberi kita pengetahuan yang lebih mendalam tentang bagaimana menjalani kehidupan sehari-hari dengan baik. Pendidikan juga merupakan hal penting bagi perkembangan suatu bangsa. Semakin terdidik masyarakatnya semakin bagus juga kualitas dari bangsa tersebut. Agar memperoleh masyarakat yang terdidik tentu saja pendidikan memegang peranan yang sangat penting. Oleh karena itu, setiap negara haruslah memperhatikan sistem dan kualitas pendidikannya.  

Sistem pendidikan di Indonesia masih membutuhkan banyak pembaharuan, karena sistem pendidikan yang sekarang tidak bisa membawa Indonesia dinilai memiliki peforma yang bagus dalam berbagai aspek pendidikan. Hal ini dibuktikan dengan adanya data dari Programme for International Student Assessment (PISA). PISA merupakan survey evaluasi sistem pendidikan didunia yang mengukur kinerja siswa 4 kelas pendididkan menengah yang diadakan oleh Organisation for Ekonomic Cooperation and Development (OECD) pada tahun 2018 menyebutkan bahwa Indonesia berada pada peringkat ke-74 dari 79 yang diikuti oleh 600 orang anak berusia 15 tahun dari 79 negara tersebut. Penelitian didasarkan pada aspek: kemampuan sains, membaca, matematika, literasi keuangan dan pemecahan masalah.

PISA didirikan pada tahun 2000 yang dipelopori oleh 80 pakar terbaik dunia, yang menyumbangkan ide terbaik dalam menciptakan sebuah sistem penilaian. Menurut data dari periode 2009-2015, Indonesia konsisten berada diurutan 10 terbawah. Dari 5 kategori itu skor Indonesia selalu berada dibawah rata-rata. Oleh karena itu, sistem pendidikan Indonesia perlu melakukan pembaharuan agar terciptanya masyarakat cerdas dan pendidikan Indonesia bisa dipandang baik oleh dunia.

Hal ini terjadi karena adanya perspektif tentang standar yang sama pada setiap murid. Biasanya dilakukan oleh guru yang terlalu menuntut muridnya untuk bisa mengerti pelajaran yang dia ajarkan padahal itu bukan bidang yang dia kuasai. Tak hanya itu tuntutan dari orang tua juga menjadi masalah utama disini. Dimana orang tua akan menuntut anaknya agar sempurna dalam berbagai mata pelajaran. Sehingga terjadinya perilaku mendewakan nilai. Karena murid akan melakukan segala cara agar mendapatkan nilai yang bagus mulai dari mencontek hingga mencuri lembar jawaban.

Sebenarnya nilai itu penting ga penting sih. Nilai itu penting karena nilai bisa menjadi parameter dari kemampuan siswa, dan beberapa pekerjaan perlu nilai serta pengetahuan yang luas agar kita bisa diterima bekerja disana. Dan nilai bisa jadi tidak penting karena nilai bukan satu satunya poin penting untuk bekerja apalagi kalau nilai sudah dicapai dengan cara yang tidak adil. Sehingga banyak pelajar sekarang ini yang mengenyampingkan kejujuran hanya untuk mendapatkan nilai yang tinggi. Padahal kalau cuma untuk mendapatkan nilai yang tinggi kita bisa memanfaatkan teknologi seperti kalkulator atau google.   

Mengapa sekolah sebagai suatu institusi pendidikan yang dianggap sebagai penyelamat peradaban justru menjadi wabah terbesar dalam sejarah? Bahkan tak sedikit yang mengatakan bahwa sekolah adalah harapan akan masa depan suatu bangsa. Jika memang sekolah itu adalah messiah (penyelamat) suatu bangsa, mengapa justru Ivan Illich mengatakan bahwa sekolah telah menjadi belenggu masyarakat sehingga masyarakat harus dibebaskan dari sekolah.

Pernyataan bahwa sekolah itu adalah sarana membangun pikiran bangsa selalu dimulai dengan asumsi "Jika manusia di sekolahkan, pasti ia akan mendapat pengetahuan, yang nantinya akan menjadi suatu landasan kemajuan bangsa", asumsi ini sangat rancu, karena terlihat sekali pengambilan kesimpulan general dari pengamatan tunggal dalam asumsi tersebut.

Pasalnya asumsi tersebut tak melihat bahwa hanya segelintir manusia saja yang mendapat pengetahuan dari sekolah, sehingga asumsi tersebut seolah-olah menyebutkan bahwa semua manusia harusnya mendapat pengetahuan dari sekolahan, padahal tak demikian. Seolah-olah dikatakan bahwa suatu bangsa hanya memiliki satu kesadaran dan tak ada kesadaran lainnya.

 

Kejanggalan dalam sekolah sangat cocok dengan apa yang dikatakan Pak Sizer di atas, bahwa menjadi kualitas yang aneh jika dalam suatu pendidikan hanya sedikit manusia yang mendapat pemahaman, sementara lainnya hanya mendapat pengalaman. Bukankah problem ini amatlah pelik, seorang pengajar hanya melakukan pengajaran tanpa memastikan yang diajar mendapat pemahaman akan apa yang disampaikannya.

Karena problem ini telah sering terjadi, dan para pengajar hasratnya lebih ke arah ekonomi ketimbang edukasi. Akhirnya tempat ajar (sekolah) hanya menjadi seperti apa yang dikatakan Freire transaksi buta saja, layaknya bank kepada nasabahnya.

Dari Pembangun Pikiran menjadi Pelaku "Genosida Kecerdasan"

Sekolah secara historis dibentuk dengan dasar-dasar filosofis yang meyakinkan, dengan harapan manusia dapat mengalami kemajuan yang cepat sekaligus distribusi pengetahuan lebih merata, para pakar pendidikan di sepanjang sejarah telah banyak memodifikasi metodologi pedagogi dalam sekolah, yang mana perubahan pedagogi dari masa ke masa memiliki harapan agar sekolah dapat membangun pikiran umat manusia.

Namun seiring melajunya peradaban, sekolah tak lagi murni tujuannya, sekolah seperti yang dikatakan William F. O'neil dalam pendahuluan bukunya 'Ideologi-ideologi Pendidikan' memiliki kepentingan-kepentingan yang terselubung di dalamnya.

            Baik kepentingan pemerintah politik pemerintah (semisal dengan mengajarkan ilmu sejarah yang mengagungkan pemerintah), kepentingan kapitalis-korporatis (seperti yang ada dalam SMK) dan kepentingan-kepentingan lainnya.

Mencerdaskan kehidupan bangsa, mungkin kata kata tersebut sudah sering kita dengar dan kita ucapkan semenjak kita SD sampai sekarang ini, namun belakangan ini banyak terjadi hal-hal yang membuat kita kembali mempertanyakan apakah tugas untuk mencerdaskan kehidupan bangsa itu sudah terlaksana, dan sejauh mana sudah dijalankan.

Dalam beberapa waktu terakhir, sering kita dapati di dunia pendidikan terkhususnya di Pendidikan tinggi, hal hal yang sebenarnya telah kita tinggalkan semenjak proklamasi kemerdekaan dibacakan, yaitu pendidikan yang berwatak feodalisme dan kolonialisme.

Sudah menjadi cita-cita kita bersama bahwa pendidikan di Indonesia harus bercirikan keadilan dan kesetaraan bagi seluruh rakyat Indonesia, namun jika kita berkaca pada kenyataan yang terjadi hari ini, apakah mungkin kesetaraan dan keadilan itu dapat kita wujudkan di dalam dunia pendidikan?

Bangsa kita sudah pernah menanggalkan feodalisme dan kolonialisme serta membangun kesadaran akan kemerdekaan, hal itu berlaku juga terhadap dunia Pendidikan, upaya tersebut seharusnya dapat membawa dunia pendidikan kita kearah yang lebih humanis, sehingga watak kemunafikan, feodal, dan jiwa yang lemah dapat sirna dan membawa keadilan serta kesetaraan.

Pendidikan pada dasarnya memiliki tugas Untuk membangun akal sehat dan berpikir kritis, kejujuran dan keobjektivan menjadi landasan demi tercapai kata akademik yang sesungguhnya.

1.      Pembungkaman secara masif dan terstruktur.

Dapat kita pertanyakan kembali, mengapa pihak birokrasi kampus sering tidak pernah mau berdialog secara terbuka ketika para mahasiswanya mempertanyakan tentang suatu hal, alih alih untuk menjumpai, justru surat cinta (Surat panggilan) yang dilayangkan kepada setiap mahasiswa yang melakukan protes, dari sini saja kita bisa melihat ada satu hal yang membuat para birokrasi takut untuk menjumpai dan berdialog secara terbuka, apakah yang membuat mereka takut? Biar itu menjadi pertanyaan bagi kita semua.

Paulo freire dalam bukunya “Pendidikan kaum tertindas” disebutkan bahwa pendidikan pada dasarnya ialah sarana pembebasan, oleh karena itu pendidikan haruslah berwatak humanisasi, masih oleh Paulo freire dalam buku sekolah kapitalisme yang licik juga disebutkan “ketika Pendidikan khususnya pendidikan tinggi sudah berada di level pembahasan tentang mempertahankan kekuasaan, maka segala lini dari pendidikan itu hanya berisi dengan penghisap dan penindasan, karena ada satu pihak yang superpower ingin mempertahankan kekuasaan dengan berbagai cara.

Jika benar seperti apa yang pernah ditulis oleh Paulo freire tersebut, sangat kita sayangkan bahwa pendidikan di perguruan tinggi sudah melompat jauh kebelakang, kembali kepada watak feodalisme dan kolonialisme.

Ketika hal tersebut terjadi, maka setiap gerak mahasiswa akan dikekang dengan kata “etika”, benar memang bahwa diatas ilmu dan hukum ada etika, namun etika dikalangan feodal dibentuk sedemikian rupa menjadi alat kekangan, sopan santun menurut mereka, dan haruslah menaruh hormat kepada mereka, atau dengan kata lain kita dibentuk menjadi searah sehingga hal ini hanya menguntungkan mereka yang berada diatas dan berkuasa serta mempermudah mereka untuk mempertahankan kekuasaan, hal inilah yang kemudian membuat ketidakseimbangan.

Banyak kita dapati karakter kuat yang dimiliki oleh mahasiswa namun oleh mereka para birokrasi telah menganulir hal tersebut, Rektorat menekan pihak dekanan, dekan menekan prodi sehingga prodi menekan mahasiswa yang memiliki karakter kuat yang pada dasarnya karakter seperti itulah yang dicita-citakan oleh pendahulu kita.

Antonio Gramsci menjelaskan gejala ini adalah akibat dari penguasaan (hegemoni) yang terlalu kuat dan pada saat yang bersamaan tidak adanya perlawanan atas penguasaan (kontrahegemoni) tersebut. Keadaan ini dapat kita lihat dengan teorinya Michel Foucault yaitu teori disciplinary power dan govermentality. “Disciplinary Power” adalah kekuasaan yang dijalankan terhadap tubuh dengan membentuknya menjadi tubuh yang patuh dan berguna melalui penjejalan atau pemenangan narasi pengetahuan atau biasa disebut dengan “Rezim pengetahuan” yang masuk kedalam pikiran seseorang, sedangkan “Govermentality” adalah perluasan kekuasaan dari disciplinary power. Jika disciplinary power menyasar tubuh ragawi seseorang, maka govermentality menyasar tubuh sosial orang banyak.

govermentality adalah bentuk pembenaran (rasionalisasi) dari bagaimana kekuasaan itu dijalankan oleh birokrasi agar bekerjanya kekuasaan atas mahasiswa yang dikuasai dapat diakui dan diterima begitu saja tanpa melahirkan perlawanan dari mereka.

2.      Kampus sebagai dunia yang bersih.

Kampus sebagai dunia pendidikan yang bersih dan memiliki tujun mulia dalam membentuk karakter bangsa yang kuat, jujur, serta adil, slogan-slogan diatasi seperti menjadi hal kosong disebabkan oleh perilaku para birokrasi, jargon tersebut menjadi kosong karena perilaku yang ditunjukkan tak lebih dari kemunafikan.

Kenapa? Karena perilaku KKN (korupsi kolusi dan nepotisme) semakin hari semakin nampak di dalam kampus oleh mereka yang pada dasarnya mengemban tugas mulia yaitu sebagai seorang pendidik.

Kasus korupsi makin banyak melibatkan pejabat kampus. Plagiarisme sulit dibendung dan dilakukan oleh calon sarjana hingga rektor dan profesor. Integritas kampus makin banyak dipertanyakan saat gelar akademik diobral dan pembelinya adalah mereka yang paling kaya dan paling berpengaruh secara ekonomi dan politik.

Kasus KKN didalam kampus seperti kentut, ia tercium tapi tak teraba, sehingga mereka para penegak hukum kerap kali menjadikan kentut tersebut sebagai alasan : karena tak dapat dibuktikan maka tak bisa kita tindak.

Seperti tulisan pak Saiful Mahdi, salah satu dosen yang dipidanakan karena berani melawan kezaliman, saya tertarik dengan yang beliau tulis, kurang lebihnya begini
“Aparat penegak hukum kita bukan hanya dipertanyakan integritasnya. Berbagai kasus hukum dan etik justru dilakukan oleh anggota kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman. Kapasitas dan profesionalismenya juga dianggap bermasalah. Salah satu penyebabnya adalah paradigma pendidikan hukum di Indonesia yang tidak holistik. Fakultas hukum telah menjadi sekedar fakultas perundang-undangan.

Maka sangat menyedihkan melihat mereka yang seharusnya paham akan hukum namun tidak bertindak sesuai hukum, jika feodalisme yang semakin kuat mengakar dan bertemu dengan watak yang lemah serta munafik maka itu akan menjadi tempat ternyaman bagi tumbuh dan berkembangnya KKN.

Hal paling pahit justru terjadi ketika Kritik dilayangkan namun pembungkaman yang menjadi balasan, Tan Malaka pernah mengatakan bahwa jika Ilmu pengetahuan tak bisa lagi dikritik maka matilah ilmu pengetahuan tersebut, hal ini membuat pendidikan kita melompat jauh, bukan ke depan namun ke belakang, sebelum era kemerdekaan, kembali ke zaman penjajahan. Feodalisme yang mengakar akan menghambat cita-cita kita untuk pembebasan, keadilan dan kesetaraan, jika kita hanya tinggal diam dan hanya menyaksikan maka dapat kita berikan hening cipta kepada matinya dunia pendidikan yang kita cita-citakan

3.      Universitas sebagai agen moral.

Peran emansipatoris universitas dan intelektual publik sekarang ini telah menjadi yatim dalam institusi pendidikan, karena para pendidik tidak bisa lagi membedakan yang mana tempat politis praktis dan yang mana dunia pendidikan itu sendiri.

Dalam realitas di perguruan tinggi sekarang, alih alih kita mau melihat para intelektual organik, justru yang banyak kita jumpai yaitu para intelektual tradisional, dimana mereka melangsungkan hegemoni akan kekuasaan mereka sehingga mereka bisa melenggang jauh dari peran pembebasannya.

Gramsci merumuskan bahwa setiap hubungan pendagogis mengandung hubungan hegemonik; hubungan pendagogis melibatkan hubungan kekuasaan dan dominasi, tapi dominasi tidak dipahami secara ekslusif sebagai paksaan dan pada dasarnya sebagai konsensus atau bentuk penaklukan terhadap keinginan kelas atau massa subordinatif.

Dari perspektif Gramsci atau bila kita menggabungkan gagasan Gramsci dengan rumusan Paulo freire, kita perlu bertanya pada diri sendiri, apa proyek pembaruan intelektual dan moral yang akan dibentuk oleh perguruan tinggi? Atau mungkin pendidikan sekarang ini adalah reproduksi ideologis kelas dominan, reproduksi kondisi-kondisi untuk memelihara kekuasaan mereka?

4.      Universitas Adalah Laboratorium Peradaban Bukan Pembodohan

Menjadi mahasiswa merupakan salah satu privilege. Banyak pemuda yang ingin melanjutkan pendidikannya di sebuah universitas namun tidak dapat melakukannya karena berbagai macam penyebab seperti keterbatasan finansial, ketidaksetujuan orang tua, dan lain-lain. Hal ini menyebabkan sudah seharusnya bagi para mahasiswa untuk memaksimalkan kesempatan yang dimilikinya sebaik mungkin, baik itu kesempatan untuk memperoleh pengetahuan di kelas ataupun pengetahuan dan skill lainnya di luar kelas. Berlembaga merupakan salah satu hal yang dapat dilakukan untuk memaksimalkan kesempatan yang didapatkan dari privilege menjadi seorang mahasiswa.

Ajaib nya adalah kita kerap tidak purna dalam memaknai dan menghayati menjadi mahasiswa sehingga terjadi banyak penyimpangan proses dalam tumbuh kembang intelektualitas, karakter, softskill atau hardskill lantas terbuai dengan hal-hal bersifat instan, aneh nya kita tidak peduli akan hal itu justru menjadi senjata jumawa di khalayak ramai, Contoh sederhananya seperti aktivitas menyontek, plagiarisme, dan perjokian untuk mendapatkan nilai bagus. Atau ada lagi berupa aktivitas titip absen yang sepertinya sudah dianggap wajar di perguruan tinggi di Indonesia. Segenap hal di atas dianggap bukan sebuah anomali justru sebuah aktivitas yang normal.

Kita tidak perlu bersembunyi dibalik sebuah kenyataan di mana bahwa sistem pendidikan hari ini telah gagal mencetak generasi berkualitas yang idealis dan berkepribadian cemerlang. Sebaliknya, yang tercetak adalah generasi yang hanya mengejar ijazah demi capaian materi di kemudian hari. Tak peduli meski harus menempuh jalan pintas kecurangan. Benarlah adanya jika fenomena joki skripsi dikatakan sebagai bibit lahirnya para tikus berdasi. Sebab, joki skripsi tak mungkin lestari jika nihil penggunanya. Oleh karena itu, dapat dipastikan bahwa masih banyak mahasiswa yang menggunakan jasa tersebut. Sungguh dapat dikatakan bahwa para pengguna joki skripsi adalah generasi instan, minim daya juang, dan minim kompetensi.

Male Parta Male Dilabuntur Sesuatu yang di dapat dengan cara yang salah dan buruk maka akan hilang degan cara yang salah dan buruk pula, joki skripsi, tugas makalah, plagiarism, titip absen, adalah cara yang salah dan instan yang mesti harus disadari dari awal akan dampak buruk nya di masa depan, namun tidak banyak yang memahami tersebut. Narasi, jawaban, kemampuan memahami teks, menggambarkan skripsi dan tugas yang memang di buat dengan hasil sendiri dan yang dibuat oleh orang lain, kemudian tubuh adalah apk mutakhir untuk melihat siapa yang jujur dan siapa yang tidak seyogyanya para penguji dan dosen pembimbing haruslah memahami hal tersebut dan saya percaya dosen sangat mengetahui hal tersebut aneh nya dosen diam seribu Bahasa tanpa menungkapkan kebenaran, atau jangan jangan dosen lah yang menjadi actor joki nya.

Untuk itu saya usulkan yang berada di dalam ruang tersebut haruslah ada seorang sikolog, pakar komunikasi, anak-anak dari jurusan psikologi, komunikasi, dll. Akhirnya jika rutinitas ini terus berlangsung maka universitas tidak akan pernah menjadi laboratorium peradaban namun menjadi Rahim pembodohan.

5.      Dilarang Membawa Sesajen Ketika Sempro Dan Skripsi

Ada kebiasaan membawa ‘sesajen’ yang dilakukan mahasiswa saat sidang skripsi (meja hijau). Sekadar untuk menyenangkan hati dosen, bermaksud menyogok agar dapat lulus dan memiliki nilai bagus, atau karena diminta. Dosen penguji pun kerap menganggap sesajen itu merupakan hal wajib yang merupakan syarat melakukan sidang. Tidak meminta, namun kerap menanyakan jika tidak ada. Bukan menjadi rahasia lagi, mahasiswa X juga memberikan sesajen saat akan sidang meja hijau. Bentuknya beragam, mulai dari makanan ringan hingga makan siang dosen penguji. Tak jarang parcel dan benda-benda lainya. Umumnya makanan yang disajikan pun olahan restoran terkenal. Beberapa mahasiswa yang saya temui mengaku, untuk menyajikan sesajen ini, mereka dapat merogoh saku mulai Rp600.000-Rp2.000.000. Meski terkadang mereka melakukan patungan.

Menjadi permasalahan sesajen ini telah menjadi kebiasaan atau budaya yang dilakukan mahasiswa dengan diminta ataupun tidak diminta. Seperti budaya masyarakat tradisional, tabu jika tidak dilaksanakan bahkan digadangkan akan mendapat bencana. Padahal sesajen merupakan budaya yang memberatkan si pemberi. Terlebih jika ia mahasiswa dengan ekonomi menengah ke bawah.

Ketika saya tanya seorang senior, kenapa mereka memberi makanan saat sidang meja hijau jika itu memberatkan? Toh tidak diminta. Mereka menjawab dengan kekhawatiran jika tidak ada sesajen, dosen penguji bisa saja memberi nilai rendah. “Daripada ditanya mana kuenya mending bawa aja,” katanya. Kekhawatiran lain juga muncul seperti teman sidang yang lain membawa makanan sedangkan dia tidak.

“ini kan bentuk terima kasih mahasiswa sama dosenya,” ujar salah satu dosen penguji. Bagaimana nasi dengan segala macam perniknya dapat menjadi bentuk terima kasih mahasiswa untuk dosen? Kenapa dosen harus menuntut jika ini memang merupakan bentuk terima kasih? Bukankah terimakasih adalah perbuatan yang didasari hati ikhlas. Tidak menuntut timbal balik seperti nilai bagus. Jika mahasiswa memang berniat memberikan benda sebagai rasa terima kasih alangkah lebih baik dilakukan saat ia wisuda atau saat telah berpenghasilan. Hingga ucapan terima kasih tersebut tidak disalahartikan dan menjadi budaya.

Parahnya, ada mahasiswa yang tidak sadar bahwa membawa sesajen merupakan pungli atau dosen tidak tahu ini adalah gratifikasi. Mereka hanya melakukan apa yang telah biasa dilakukan.

Padahal berdasarkan surat edaran Kementrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 108/B/SE/2017 tentang Larangan Menerima Hadiah menyebutkan dosen dilarang menerima atau meminta hadiah atau gratifikasi atau hadiah apapun dari mahasiswa atau siapapun yang berhubungan dengan tugasnya sebagai dosen. Sebaliknya mahasiswa dilarang memberi hadiah, gratifikasi atau pemberian apapun dengan alasasn apapun. hal ini karena dosen memiliki akuntabilitas sebagai pendidik, mentor, penilai, dan role model bagi mahasiswa.

Budaya memberi dan menerima sesajen harus dihentikan. Dosen harusnya memerangi perilaku yang dianggap budaya ini. Bukankah dosen telah mendapatkan honor untuk menjadi penguji sidang meja hijau. Lalu mengapa penguji harus menuntut ini itu pada mahasiswanya yang belum berpenghasilan. Menolak pemberian saat menjalankan tugas adalah cara yang bijak. Dosen adalah tenaga pendidik. Tentu seorang pendidik mesti memberikan contoh yang baik. Jika pungli dan gratifikasi telah dicontohkan pada mahasiswanya jangan heran jika korupsi terus memenuhi negeri ini.

Universitas juga harusnya membuat peraturan mengenai larangan meminta dan menerima barang apapun dari mahasiswa sidang. Peraturan jelas juga disertai pengawasan. Karena, meskipun dihimbau secara lisan oleh rektor, mahasiswa tidak akan ada yang mau mengadukan permintaan sesajen. Terlebih akan mengancam nilai.  Misalnya saja Program Studi Administrasi Publik (AP) telah menerapkan sistem ini setelah surat edaran larangan menerima hadiah dikeluarkan. Kepala jurusan AP secara tegas melarang sesajen. Alhasil budaya ini memang punah di AP.

Mahasiswa juga mesti sadar dan tidak perlu takut jika melakukan sidang meja hijau tanpa membawa sesajen. Terlebih sesajen tersebut memberatkan dengan berbagai macam makanan mahal. Jika mahasiswa percaya diri dengan skripsi dan kemampuannya tidak ada alasan dosen penguji memberi nilai rendah. Jika seluruh mahasiswa tidak lagi memberi sesajen budaya ini akan hilang sendiri. Dosen tidak akan lagi memberi nilai rendah pada mahasiswa yang tidak membawa sesajen. Sebagai mahasiswa kita haruslah kritis, bukankah kita dan dosen adalah sekumpulan kaum terpelajar yang harus berbuat adil. Jika kau tidak coba menghentikan sekarang kebudayaan ini niscaya akan terus diwariskan.

6.      Disparitas Pelayanan berupa Goodlooking dan Good Rekening

Dalam beberapa kejadian saya kerap melihat bahwa petugas sangat bersikap ramah pada mahasiswa-mahasiswi yang berupa atau anak dari orang kaya, dengan suara yang merdu serta senyum merekah saat berinteraksi dengan golongan tersebut, namun beda hal nya dengan mahasiswa yang tidak cukup ganteng dan cantik sambutan pun berubah dengan muram, kejadian ini pula di ceritakan oleh teman saya yang pernah mengalami nya. Rupanya begini antropologis Pendidikan kita yang terjadi tidak hanya senjang dalam pemerataan Pendidikan namun senjang pula dalam perlakuan.

7.      Kekerasan Seksual dan Pelecehan Seksual Dalam Dunia Pendidikan Indonesia

Catatan Tahunan Komnas Perempuan (2020) mencatat, dalam kurun waktu 12 tahun, kekerasan terhadap perempuan meningkat 792%. Dalam Catatan terbaru (2022), kekerasan terhadap perempuan mencapai 338.496 laporan, dan kekerasan seksual berjumlah 4.660 kasus. Dari data tersebut, kampus menempati posisi puncak dengan 27% laporan. Data ini tentu saja adalah data gunung es, sebab hanya mendata yang melapor. Laporan WHO (2022) menyebutkan, bahwa 9 dari 10 korban kekerasan seksual tidak melapor. Artinya, jika laporan WHO dipakai dalam konteks Indonesia, kekerasan seksual boleh jadi sepuluh kali lipat dari laporan yang ada. Data ini tentu akan lebih kompleks jika kita mempertimbangkan bahwa korban kekerasan seksual tidak hanya perempuan dewasa, namun juga anak-anak, laki-laki, dan penyandang disabilitas. seksual akan menjadi sia-sia jika tidak ada upaya pencegahan yang terstruktur dan holistik.

Ada beberapa langkah yang dapat diambil oleh kampus. Langkah paling optimal adalah dengan mengintegrasikan persoalan kekerasan seksual ke dalam struktur kurikulum. Setiap kampus dipastikan memiliki matakuliah wajib universitas atau fakultas, di mana isu kekerasan seksual dapat masuk. Misalnya dalam matakuliah agama atau kewarganegaraan. Persoalan kekerasan seksual dapat pula diintegrasikan ke dalam matakuliah pilihan di level program studi, bergantung pada tujuan matakuliah tersebut. Integrasi juga dapat dilakukan ke dalam level kemahasiswaan, melalui BEM atau Himpunan Mahasiswa. Mahasiswa dapat didorong untuk secara terbuka mendiskusikan kekerasan seksual dan membedah regulasi yang ada, misalnya diskusi tentang UU TPKS dan lain sebagainya, dan dapat pula melalui materi dalam PMB. Di level dosen dan tendik, pembahasan terkait kekerasan seksual dapat dilakukan dalam forum yang diikuti oleh semua dosen dan tendik, misalnya dalam rapat persiapan kuliah atau rapat evaluasi semester.

Komitmen juga mencakup kerendahhatian kampus untuk menyadari dan mengakui keterbatasan sumber daya yang dimiliki. Kampus tidak dapat melakukan upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual sendiri. Diperlukan kerjasama lintas sektor dengan Komnas Perempuan, Komnas Disabilitas, Komnas HAM, kepolisian, LPSK, unit penyedia layanan seperti Women Crisis Center, NGO/CSO, organisasi keagamaan, hingga berjejaring lintas kampus. Dengan kerjasama lintas sektor, kampus tidak perlu merasa berjalan sendiri di jalan yang sepi. Kekerasan seksual adalah kejahatan kemanusiaan, dan karenanya, menjadi sangat egoistik jika kampus merasa bersih dari kekerasan seksual, dan karenanya merasa dapat jalan sendiri tanpa bantuan orang lain.

8.      PBAK Bukan Pengenalan Kampus

Pengenalan Budaya Akademik Kampus atau yang kerap kita dengar dengan kata PBAK, tujuan utama pengenalan kampus adalah memberikan pembekalan bagi mahasiswa baru dalam upaya adaptasi dalam mengenal lingkungan kampus—pendidikan maupun lingkungan sosial.

Namun, beberapa tindakan perploncoan terjadi di berbagai perguruan tinggi di Indonesia sepatutnya tidak dilestarikan dalam kegiatan pengenalan kampus maupun kegiatan kampus apa pun. Berkedok mematangkan mental agar siap dalam menghadapi dunia kerja setelah usai masa pendidikan, para mahasiswa senior bertindak “seenak jidat” mereka tanpa memikirkan konsekuensinya. namun realitas nya pula bukan budaya kampu yang dierkenalkan namun lebih pada pengenalan oknum dan kelompok tertentu, sehingga out put dari bak bukanlah budaya yang akademik namun doktrinisasi dan propaganda dalam narasi narasi busuk.

Kegiatan kemahasiswaan yang selama ini diserahkan kepada lembaga kemahasiswaan di kampus nampaknya penting untuk dikaji ulang, menginggat kasus-kasus kekerasan yang timbul sebagian besar terjadi karena adanya interaksi antara mahasiswa senior kepada mahasiswa baru yang sejatinya belum mengenal sama sekali budaya yang ada didalam kampus. Hal ini penting untuk menghindari benturan-benturan kepentingan antara mahasiswa senior kepada mahasiswa baru. Kegiatan orientasi pengenalan kampus keberadaannya sejatinya masih penting, karena kegiatan ini merupakan proses awal untuk memahami visi dan misi kampus dalam membangun mentalitas, intentelektual, dan membangun kedewasaan mahasiswa dalam mengemban tangung jawab besar dalam masyarakat.

Proses Orientasi pengenalan lingkungan kampus harus tetap mendapatkan pengawalan yang power full dari semua instrumen yang ada dalam institusi, bahkan penyelenggaraan proses tersebut harus dibawah control dan mekanisme yang dilaksanakan oleh pihak universitas maupun fakultas masing-masing. Akses dan interaksi antara mahasiswa baru dengan seniornya harus disediakan ruang tersendiri dalam komunitas intelektual dalam bentuk diskusi-diskusi yang menitik beratkan pada pengenalan kebiasaan intelektual dalam kampus. Dengan demikian tujuan awal dari proses pengenalan kampus dan target visi dan misi yang dicanangkan dapat terlaksana dengan baik tanpa dicederai oleh tindakan oknum-oknum yang tidak bertangung jawab yang berakibat pada kerugian oleh semua pihak. Setiap institusi berkewajiban memiliki system operational Procedure (SOP) dalam proses penyelenggaraan proses orientasi yang telah divalidasi oleh pemerintah, dan harus diterapkan sangsi yang jelas dan tegas dalam pelaksanaanya.

9.      Hedonisme Dikalangan Penerima Beasiswa (HP Ipone, Nongkrong Elit, Pakaian Mewah)

Secara mudahnya, beasiswa sering disebut dengan bantuan bagi masyarakat kurang mampu dalam hal ekonomi, namun memiliki potensi akademik yang bagus. Namun apakah dirasa beasiswa ini sudah tepat sasaran? Sudahkah beasiswa tersalurkan kepada mahasiswa yang masuk dalam golongan kurang mampu?. Dari pemerintah maupun non-pemerintah dalam akses beasiswa dianggap masih kurang terbuka dan sering kali tidak tepat sasaran.

Menelaah syarat untuk memiliki KIP kuliah yang perlu kita garis bawahi adalah memiliki potensi akademik baik namun memiliki keterbatasan ekonomi yang didukung bukti dokumen yang sah (Kemendikbud, 2022). Dari pernyataan ini dapat kita simpulkan bahwa setiap penerima beasiswa KIP kuliah adalah dari golongan yang terbatas dalam hal ekonomi. Namun tak jarang kita menemui penerima beasiswa yang dengan mudahnya mememperlihatkan kehidupan yang terkesan mewah. Nongkrong di tempat elite kemudian memesan makanan dan minuman dengan harga yang tak murah. Saat uang beasiswa turun dengan secepat kilat membeli gawai terbaru yang cangih kemudian memamerkannya di media sosial. Sempat menjadi sorotan tentang penerima beasiswa dengan gaya hedonnya adalah mereka dapat menonton konser artis dengan harga yang bisa jadi cukup untuk membayar biaya kuliah. Beberapa orang berpendapat bahwa menonton konser atau tidak itu adalah hak setiap orang, termasuk untuk mahasiswa yang menerima beasiswa. Dengan dalih mereka menabung dengan susah payah untuk dapat melihat konser artis yang mereka suka. Jika dilihat, lebih mementingkan menabung untuk menonton konser artis kesayangan daripada menabung untuk memenuhi kebutuhan adalah pilihan yang kurang tepat. Dalam ukuran skala prioritas hal ini merupakan kebutuhan tersier yang mana kebutuhan ini adalah pemenuhan barang mewah untuk kesenangan pribadi. Apabila tak dipenuhi tak akan berdampak apa-apa. Sedangkan pendidikan merupakan kebutuhan primer yang mana pendidikan berperan penting dalam membentuk baik dan buruknya seseorang dalam ukuran normatif.

Bergaya hedon atau hedonisme adalah julukan yang tersemat bagi setiap orang yang boros dan impulsif. Menilik kata hedonisme menurut KBBI adalah pandangan yang beranggapan bahwa kesenangan dan kenikmatan materi merupakan tujuan utama hidup (Aprilia Kumala, 2019). Dari arti hedonisme ini dapat diartikan bahwa kesenangan dan kenikmatan materi yang sementara adalah yang menjadi tujuan utama bagi mahasiswa penerima beasiswa. Pada perkembangan istilah hedonisme oleh Epicurus pelakunya lebih condong pada kebahagiaan yang tak terganggu oleh rasa sakit baik secara mental atau fisiknya (Adien Tsaqif, 2020). Mungkin bagi mereka kebahagiaan melalui barang mewah dan segala hiburannya yang mereka pamerkan pada media sosial adalah sebagian dari euphoria dari keadaan mereka yang belum pernah mereka rasakan atau jarang-jarang mereka rasakan dari kehidupan sebelumnya yang serba kekurangan. yang alih-alih memamerkan gawai baru, mereka harusnya memamerkan buku baru agar terlihat memanfaatkan bantuan dengan baik.

Tak semua mahasiswa yang menerima beasiswa melakukan perilaku seperti ini. Masih banyak mahasiswa yang jujur dan menggunakan bantuan dari pemerintah ini dengan baik. Pelaku hedonisme ini tak serta merta terjadi dari diri sendiri, faktor lingkungan juga berpengaruh, dengan siapa mereka bergaul dan bagaimana mereka memisahkan hal yang baik dan buruk, yang harus dilakukan dan tidak dilakukan, dan yang bermanfaat atau tidak bermanfaat. 

Solusi untuk kasus ini diperlukan peran pemerintah untuk kembali menegaskan kebijakan pada penerima beasiswa, mengikis celah terjadi jalur orang dalam pada saat pendaftaran maupun seleksi. Kurangnya transparansi dalam subjek penerima beasiswa, seperti siapa yang lebih miskin dan siapa yang lebih membutuhkan. Kembali memegang tekad yang sama seperti tujuan pemberian beasiswa agar berjalan seiras dan segera tercapai apa yang ditargetkan melalui program beasiswa.

Untuk mahasiswa penerima beasiswa diharapkan menggunakan fasilitas dari pemerintah dengan sebaik-baiknya. Merasakan euphoria karena pengalaman pertama mungkin diwajarkan, namun dengan kesadaran diri sendiri apabila sudah mengetahui bahwa itu adalah perbuatan yang salah segera perbaiki agar kepercayaan orang lain tak hilang darimu.

Jika benar maka suatu pembaruan perlu dilakukan di pendidikan tinggi, agar pendidikan benar benar berfungsi sebagai pencerdasan bagi bangsa ini.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar