Jumat, 19 Mei 2023

OPERA KONGRES DAN KONFERCAB : HMI BUTUH PEMIMPIN YANG MEMBACA DAN PERSONA JENAKA



Pada suatu ketika, penulis dan filsuf Perancis Voltaire (1764) berkata, “Orang yang memegang kekuasaan tidak punya waktu untuk membaca buku. Orang yang tidak membaca buku, tidak pantas memegang kekuasaan.”

Seekstrem itukah kriteria seorang pemimpin ketika harus dikaitkan dengan kitab dan buku?

Apakah politik kekuasaan memang harus dihubungkan dengan lembaran-lembaran naskah literasi?

Mungkin tidak, tetapi rasanya tak berlebihan juga jika kita ingat bahwa salah satu unsur kepemimpinan adalah kemampuan dalam menguasai orang. Aldous Huxley (1921) tak pernah bosan mengingatkan kalau mau betul-betul belajar tentang manusia, bacalah buku banyak-banyak.

Kemampuan memahami orang-orang yang dipimpin, kepandaian dalam memilih orang kepercayaan untuk lingkaran terdalam kekuasaan, dan kepintaran mengendalikan beragam karakter manusia dalam berbagai situasi sesungguhnya merupakan bagian dari kepintaran membaca yang menjadi kunci keberhasilan seorang pemimpin.

Bagaimana bisa? Karena komponen politik yang lain di luar manusia sebagai pelaku politik sesungguhnya hanyalah alat, yang gerakan dan manuvernya dikendalikan oleh para manusia. Kekuatan kemampuan seorang pemimpin membaca bahkan dilontarkan secara lebih ekstrem oleh Harry Golden (1958).

Ia berkata, “Para diktator itu takut kepada buku, seperti mereka takut kepada meriam.” Jika seorang pemimpin pintar membaca buku, ia akan menjadi pemimpin yang ditakuti lawan politiknya sekaligus disegani orang-orang yang dia pimpin.

Melek Buku
Majalah Matabaca–sebuah majalah yang pernah terbit sebelum 2010 dan menasbihkan diri sebagai jendela dunia pustaka–Vol. 7/No. 2/Oktober 2008 pernah mengangkat sebuah tema menarik soal pemimpin dan buku.

Topik itu adalah Presiden Melek Buku, menampilkan sosok M. Fajroel Rachman sebagai pengamat politik yang waktu itu mencalonkan diri dari gugus independen. Di dalamnya diulas juga level kebukuan para kompetitor saat itu, seperti Yusril Ihza Mahendra, Sutiyoso, Rizal Ramli; juga wajah-wajah lama seperti Amien Rais, Wiranto, Gus Dur, dan juga SBY.

Majalah ini bahkan mencoba membandingkan dengan tokoh-tokoh pemimpin di mancanegara seperti Mao Tse-Tung, Mahatma Gandhi, juga Barack Obama. Ada dua hal yang inti dalam ulasan di rubrik Gagasutama edisi itu, yang notabene merupakan dua pengejawantahan istilah melek buku.

Pertama, selain harus terampil memimpin melalui tutur bahasa lisan, seorang pemimpin juga harus bisa menuangkan ide-ide kepemimpinan melalui bahasa tulisan, nelalui kemampuan menulis, memindahkan ide di kepala dan benak pemikiran secara literer.

Dalam model pemilihan pemimpin secara langsung oleh rakyat seperti yang terjadi di Indonesia masa kini dan di Amerika Serikat sejak masa lampau; karakter, kemampuan dan bahkan gaya serta prinsip-prinsip kepemimpinan seseorang bisa kita baca dari apa-apa yang dia tulis.

Karakter pemimpin bisa ditelaah dari lontaran ide yang menjadi opini dan dipublikasikan di berbagai media cetak, baik itu koran, majalah, dan juga buku. Segala sesuatu yang tertuang dalam waktu lama merupakan sebuah cermin kompetensi dan konsistensi. Dari ide-ide itu kita bisa melihat kapabilitas jika suatu ketika si penulis ide harus memimpin. Ini yang biasa kita sebut dengan melihat kompetensi. Dari ide-ide yang tersebar dalam kurun waktu panjang tersebut, kita bisa melihat keteguhan prinsip seorang calon pemimpin. Konsistensinya.

Mengapa? Karena sosialisasi ide melalui tulisan di media massa (termasuk pada era kini adalah media sosial) atau buku tidak dibatasi oleh ruang dan waktu layaknya kampanye formal yang hanya dilakukan secara jangka pendek, beberapa waktu sebelum prosesi pemilihan itu sendiri.

Jika hanya jangka pendek, bisa jadi hanyalah sebuah lips service. Jika seseorang mengampanyekan pemikiran secara berkesinambungan dalam jangka waktu lama, keyakinan akan kompetensi dan konsistensi lebih layak dipercaya.

Kedua, seorang pemimpin seyogianya juga merupakan orang yang mau membaca. Di prolog artikel itu disampaikan: Bagaimana caranya membaca keunggulan calon presiden kita? Salah satu dari puluhan kriteria adalah kecintaan pada dunia membaca.

Lalu, apakah ada jaminan bahwa pemimpin yang membaca adalah pemimpin yang bijak dan bajik? Tentu tidak, karena semua masih akan tergantung dari buku apa saja yang dibaca. Pada intinya hampir semua buku mengajarkan satu, dua, atau bahkan tiga hal ini: hikmah, informasi, kenyamanan hati.

Hikmah berbicara tentang inspirasi kebaikan dan cara yang bisa diteladani dan dijadikan pegangan untuk menjadi orang baik dalam kehidupan. Informasi bersifat memperkaya pemahaman dan pengetahuan agar setiap pilihan sikap memiliki dasar keputusan yang kuat dan benar.

Kenyamanan hati akan membuat orang semakin bahagia dengan menjadi orang yang baik, mengerti, dan bisa berempati dengan orang lain melalui fakta yang tersirat maupun tersurat. Dari sari ketiga inilah tampaknya artikel dalam Matabaca itu berani menyimpulkan bahwa salah satu buku yang harus dibaca adalah buku sastra.

Mengapa? Simak kata Baharuddin Aritonang, “Supaya hatinya mudah terpanggil.” Fadjroel Rachman menyiratkan alasan “akan mempertajam pemikiran seseorang.” Kata dia lagi, “Dengan karya sastra, kita bisa mendapat gambaran yang utuh dari sosok manusia daripada data primer.” Mungkin ini yang pada akhirnya membedakan seseorang akan menjadi pemimpin yang otoriter, diktator, koruptif, manipulatif atau menjadi pemimpin yang arif, empatif, mengayomi, dan luwes.

Jika memang demikian, kebiasaan membaca bagi seorang pemimpin amatlah penting sehingga kriteria melek buku rasanya menjadi layak dipertimbangkan untuk menjadi bagian dari key performance indicator (KPI) seorang calon pemimpin.

Secara subjektif, para pencinta buku selalu merindukan pemimpin yang melek buku untuk lebih menjamin kearifan pemerintahan. Harry S. Truman, pemimpin Amerika Serikat era Perang Dunia II, pernah berkata, “Not all Readers are Leaders, But all Leaders are Readers.”

Menurut Truman, membaca merupakan kegiatan yang paling mudah dan efektif bagi seorang pemimpin untuk mengembangkan kepribadian. Membaca merupakan kebiasaan baik yang harus melekat pada diri seorang pemimpin. Perdana Menteri Inggris Winston Churchill juga memiliki kebiasaan membaca yang luar biasa. Ia bahkan tidak hanya membaca. Dari kepalanya yang penuh pengetahuan, ia telah menelurkan lebih dari 50 buku yang mengantarkan dia menerima penghargaan Nobel di bidang literatur.

Pemimpin yang meyakini bahwa buku adalah pintu pengetahuan dan kebajikan untuk warga negara, diyakini akan membuat kebijakan perbukuan di negaranya menjadi sangat kondusif.

Pemimpin yang punya kebiasaan membaca akan lebih memberi kepastian bahwa tidak ada lagi buku-buku yang dibakar seperti sejarah yang pernah terjadi di Opernplatz, Berlin, pada 10 Mei 1933, ketika Nazi membakar lebih dari 20.000 buku yang dianggap non-Jerman.

Seperti juga kata sejarawan Asvi Warman Adam, pembakaran buku—apa pun alasannya–tak ubahnya upaya menghalangi kecerdasan bangsa. Nah, sekarang kita punya 3 pasangan putra putra terbaik Indonesia yang mencalonkan sebagai presiden untuk 2024, dan beberapa Calon untuk Kongres dan Konfercab Kendati masih banyak calon yang belum dengan lantang menyatakan sikap namun dalam siur berita dan isu yang kita lihat dari tindak tanduk nya beberapa bulan terakhir kita dapat menerka dengan jelas. Untuk negara dan untuk Indonesia kita butuh pemimpin yang literat sehingga ia memiliki pandangan dan kepekaan yang tinggi sehingga dikritik bukan untuk ia jatuh namun tumbuh bahkan merespons setiap suara dengan keterbukaan bahkan mengapresiasi hal tersebut hanya saja, hanya mereka yg literat yang tersenyum dan mengapresiasi jika dikritisi.

Apakah mereka adalah para calon pemimpin yang membaca?
Masih ada waktu untuk mengamati. Semoga saja, pengamatan yang kita lakukan akan menemukan konklusi bahwa semua pasangan calon itu adalah orang-orang yang (pintar) membaca.

Bila kita rajin membaca buku kepemimpinan dan komunikasi pemimpin, maka selalu ada bagian yang menyatakan bahwa pemimpin yang baik perlu punya sense of humor. Ya, punya rasa humor dan menggunakan humor baik dalam pergaulan informal maupun dalam bentuk formal. Saya punya keyakinan bahwa orang yang suka humor akan panjang umur. Dan saya yakin Gus Dur dikasih umur panjang karena dia senang tertawa dan humoris. Pemimpin lain yang saya lihat suka humor alah Jusuf Kalla. Humor JK lebih kepada menertawakan proses politik atau masalah sosial yang hangat waktu itu.

Humornya lebih ke arah orisinal yaitu masalah di sekitar kehidupan, bukan seperti Gus Dur yang lebih kaya dengan cerita-cerita di kalangan santri dan kisah tempo dulu di Timur Tengah. Saya tidak tahu apakah SBY seorang humoris atau tidak, karena dia lebih santun berbicara.
Saya sendiri dulu pernah sempat traumatis ketika melontarkan humor, lalu tidak ada yang tertawa atau hanya sebagian kecil yang tertawa. Dan itu bukan hanya sekali, tetapi berkali-kali. Cuma saya tidak pernah kapok!

Kegunaan humor, kata Scott Friedman ada beberapa: pertama, pertama, humor bisa menghentikan lamunan. Maksudnya, membuat orang yang tadinya tidak menaruh perhatian bisa fokus ke pembicaraan kita. Kedua, membuat pendengar tenang dan segar di mana pendengar akan bangkit semangatnya mendengar presentasi pembicara. Ketiga, setelah humor disampaikan maka selanjutnya daya tahan mendengar informasi kita bisa lebih lama. Keempat, humor bisa merangsang sisi kanan dan kiri otak sehingga isi ceramah dan presentasi dapat diingat dalam jangka waktu lama. Kelima, orang-orang (pendengar) suka dengan orang (pembicara) yang suka humor dan ini akan menimbulkan rasa saling pengertian dan para pendengar. Keenam, membuang kejenuhan dan kebosanan. Ketujuh, ceramah jadi lebih menyenangkan sehingga informasi yang masuk tidak membuat pendengar merasa terjejali, bahkan justru terhibur. Kedelapan, informasi yang paling berat pun akan masuk dengan baik bila diawali dengan humor. Kesembilan, membuat pendengar terlibat dan siap menerima pelajaran. Dan kesepuluh, merangsang kreativitas di mana pendengar akan melihat cara baru mempelajari sesuatu dan mengolah informasi dengan hal yang familiar.

Jika kita melihat konteks hari ini prihal gaya kepemimpinan yang berlaku di HMI maka kita melihat pemimpin pemimpin yang tegas namun limit dalam humor, kita melihat banyak pemimpin pemimpin yang harap akan di istimewakan, dengan cara menunduk, dibentangkan karpet merah, dan lain lain. sehingga beberapa waktu lalu saya mencoba untuk berandai jika HMI dipimpin oleh mereka yang dari kalangan komedian atau persona yang lucu, minsalkan Ari Kriting, Dzawin, Dodit Mulyanto, menjadi Ketua Umum HMI Cabang atau PB HMI rasanya HMI akan lebih menarik karna Kepemimpinan adalah sebuah proses dimana seseorang mempengaruhi sebuah tim untuk mencapai tujuan (jangan salah Lo Ari Kriting itu sudah menunaikan Latihan Kader II HMI).

Namun kebanyakan pemimpin bersikap Perfectionist dan membuat mereka sangat kritis terhadap dirinya sendiri dan juga orang-orang disekelilingnya. Hal ini dapat menyebabkan ketegangan dalam bekerja. Ketegangan tersebut dapat menyebabkan kekakuan pada otot-otot syaraf manusia yang menyebabkan kurang produktifnya seseorang dalam berfikir dan lambatnya dalam menyelesaikan suatu pekerjaan.

Hal tersebut tentu saja dapat menghambat tercapainya tujuan.Oleh karena itu,seorang pemimpin harus bisa mengatur irama emosi, Humoris bermanfaat untuk meredakan ketegangan dan menambah semangat. Namun, sifat humoris yang dimiliki harus alami, tidak dibuat-buat, sehingga membuat anggota tim menjadi lebih nyaman dalam bekerja.

Pemimpin yang memiliki sifat humoris memiliki ciri-ciri murah senyum, mampu memecahkan kebekuan, mampu menciptakan kalimat yang menyegarkan, kaya akan cerita dan kisah lucu, serta mampu menempatkan humor pada situasi yang tepat, Avolio (1999),mengatakan bahwa humor menjadi sifat dan kompetisi penting yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. kepemimpinan humoris dan inspiratif dapat melepaskan doktrin kepemimpinan lama menjadi kepemimpinan yang memberdayakan bawahan dengan otonomi yang lebih melalui perilaku interaktif yang menarik sehingga dapat meningkatkan efektivitas kepemimpinan yang pada akhirnya bertujuan pada pencapaian target-target organisasi.

Dalam beberapa tahun terakhir kita melihat himpunan Mahasiswa Islam diasuh oleh pemimpin-pemimpin yang bersikap tegas otoriter serta lugas sehingga para kader-kader HMI merasa bahwa segenap sikap yang ditunjukkan oleh ketua umum ketua umum tersebut hanya akan memberikan Citra buruk bagi para kader-kader HMI yang di mana para kader-kader HMI cemas takut untuk berinteraksi dengan pemimpin mereka padahal hakikatnya mereka mesti menciptakan atmosfer proses kaderisasi yang tenang,nyaman, dan energik tanpa harus menimbulkan kecemasan dan ketakutan, semua dalil ini akan dibantah dengan kata Marwah. Jika pemimpin ingin dihormati, disegani, diikuti, bukan Karna ia hanya berbicara sepatah dua patah kata, dengan sikap dingin, dengan duduk dimuka, tidak tertawa dan berbicara seadanya namun pemimpin itu dihormati karna kualitas dan kapasitas nya.

Beberapa senior yang saya ajukan pertanyaan serupa lebih banyak memilih pemimpin yang tegas, karismatik, dan lain-lain, mereka tidak sependapat dengan perandaian saya namun saya sedang tidak menghakimi hal tersebut namun lebih menghormati pendapat tersebut.

Dalam tahun politik ini pula banyak ketua umum yang cemas, gagap dalam menyuarakan sebuah kebenaran Karna khawatir kursi struktural tidak aman, di tahun tahun ini pula kita melihat pemimpin yang tiba tiba muncul dan merakyat secara tiba tiba padahal sebelumnya tidak.

Jika Indonesia memiliki pak Syafrudin seorang menteri keuangan era Bung Karno yang tak mampu membeli popok untuk anaknya, kita rindu sosok M. Natsir perdana menteri Indonesia yang menggunakan jas tambal dan mengayuh sepeda ontel ke kontrakan nya, kita rindu sosok M. Hatta yang tidak mampu membeli sepatu keinginan nya hingga akhir hayatnya, kita rindu Abdurahman Baswedan yang harus meminjam telpon tetangga nya, kita rindu Jend. Hoegeng yang tidak menempati rumah dinas nya dan memilih tinggal di rumah sederhana.

HMI butuh pemimpin pemimpin yang merakyat tanpa alih alih dan syarat, pemimpin pemimpin yang tinggal di sekretariat, membersihkan, memegang sapu membersihkan rumah perjuangan. Hari ini kita melihat bahwa sekretariat atau rumah perjuangan kelam, sepi, hening, ramai hanya ketika perhelatan latihan kader, atau diskusi, kita dan pemimpin kita lupa meramaikan rumah perjuangan ini.

Tulisan ini lahir adalah karna melihat antropologi HMI yang kian hari kian menuntut penghormatan dan mengabaikan kebenaran. Kritikan dianggap sebuah kesalahan dan ketidaksopanan padahal negara atau organisasi akan dianggap hebat dan bertumbuh jika para kader nya memiliki analisis yang kuat dan bernyali mengkritisi. Itu tanda nya bertumbuh, justru yang patut dipertanyakan adalah bila negara atau organisasi sudah tidak dikritisi oleh rakyat dan kader nya, itu bukan lah suatu keindahan atau kebaikan namun justru terdapat banyak celaka.

Kita lebih memilih tempat tempat mewah untuk berdiskusi atau bermain ketimbang rumah sendiri, dan kita takut bersuara karena cemas tak dapat kursi atau bahkan di benci, hanya pemimpin pemimpin yang tidak literat yang membuang kritikan atau tutup telinga akannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar