Sabtu, 13 Mei 2023

NOKTAH KAMPUS MERDEKA: ASING DENGAN KRITIKAN DAN STUNTING DENGAN PEMIKIRAN


 Dapat saya katakan bahwa "Kecerdasan bangsa dalam suatu Negara sangat ditentukan oleh kekuatan pendidikannya, karena Bangsa yang cerdas memiliki Pendidikan yang pantas"

    Bangsa Indonesia sejatinya tidak pernah kekurangan manusia-manusia yang memiliki kemampuan berfikir yang baik, bahkan jika kita menilik yang dimulai dari sejarah Indonesia maka kita akan terhenyak dan berdecak kagum ketika melihat Masyhudul Haq atau yg lebih Mashur dengan nama H.Agus Salim seorang diplomat ulung terlihat dari Pengakuan secara De Jure oleh Mesir kala itu dalam kemerdekaan Indonesia serta menguasai 9 bahasa Dunia, seorang lulusan Belanda, kita kenal Bapak Republik Indonesia yang dilupakan sejarah padahal ia adalah bagian dari sejarah pemikiran Indonesia yakni Tan Malaka, seorang lulusan Kampus ternama Belanda dengan mengandung konsep negara Indonesia yg dijelaskan secara apik dalam buku nya Naar De Republiek Indonesia, kita ingat bagaimana M. Nasir dengan ide cemerlang nya menumbuhkan paradigma tentang hakikat sebuah bangsa, Moh. Yamin, Soepomo, Sutan Sjahrir, dan masih banyak lagi putra-putri terbaik bangsa ini Mashur di dunia dengan pemikiran pemikiran yang dahsyat dan tutur argumen yang baik. Ajaib nya kendati mereka kerap terjadi persilangan pendapat namun bukan menjadikan mereka saling memusuhi bahkan itu menjadi warna identitas pemikiran mereka. Bung Karno menginginkan bangsa indonesia dengan konsep kesatuan sedangkan Moh. Hatta menghendaki negara dengan konsep federal, bahkan dalam sejarah bangsa Soekarno adalah dalang dari pemenjaraan Tan Malaka namun di saat yang bersamaan Soekarno berkata, di saat saya lengser dan negara ini revolusi maka yang memimpin negara ini harus Tan Malaka. Dan masih banyak lagi peristiwa di negara ini yang di mana kendati berbeda ide dan konsep tentang apapun namun mereka bukan musuhereka tetap teman diskusi. sudah kita ketahui tentang betapa banyaknya pakar Pendidikan yang bertebaran dari Sabang sampai Merauke, dari banyaknya pakar tersebut, pertanyaannya masih sama, yaitu "Kenapa sih Pendidikan kita hanya itu-itu aja?" atau "Kenapa sih sistem Pendidikan kita sangat tertinggal dengan kebanyakan negara di luar sana?". Pasti pada kebanyakan dari para pembaca juga akan merasa seperti itu, hebatnya, hal tersebut sudah menjadi aib sekaligus rahasia umum dari sistem Pendidikan kita. Lalu dengan hal yang darurat demikian, apakah kita tak ingin melakukan apa-apa? topik yang saya pilih ini sendiri adalah suatu permasalahan dari Pendidikan kita dan dinamika Kampus, dimana permasalahan itu saya anggap paling Fundamental.


    Yang saya tulis kali ini adalah bentuk kekecewaan saya pribadi terhadap Universitas saya, saya sendiri juga menjadi korban dogmatis berkedok pedagogis (pendidikan) di dalamnya, sekaligus menjadi korban halusinasi hipnotis dalam promosi yang dirangkai sebagai hipotesis (pernyataan) . Tapi saya sama sekali tak menyesal karena sudah bersekolah, karena ini adalah tantangan saya sendiri (juga kawan-kawan yang sedang kecewa) untuk mengkritik, memberi solusi dan mendekonstruksi (mengatur ulang) pedagogi di negeri ini, saya sebut yang saya lakukan ialah perjuangan para murid pergerakan melawan kediktatoran dalam Pendidikan.


    Di sini mungkin para pembaca ada yang merasa bahwa semangat saya pada tulisan ini hanyalah halusinasi seorang murid saja, saya tak menyalahkan pendapat pembaca yang demikian, karena memang hal yang saya impikan untuk mendekonstruksi metode pedagogi di negeri ini terlihat mustahil secara teoretis. Saya sudah sadar akan hal itu semenjak saya membaca Descartes ketika berada di saat saya Mondok Di Pesantren Al Amien Prenduan Madura, kata Descartes dalam bukunya "Diskursus de la metode", untuk mendekonstruksi suatu system, tak akan berhasil bila hanya memotong dahan atau batangnya, yang akan berhasil ialah bahwa ketika anda mencabut hingga akar-nya.

    Sistem Pendidikan kita juga seperti itu, karena sudah terlanjur menjadi pohon ceri, tak dapat kita ubah menjadi pohon mangga kecuali dengan mencabut akar dan mengganti pohonnya, itu yang kita pahami secara teoretis.

    Lain jika bicara soal metodis, pohon ceri memang tak bisa dilanjutkan (cangkok) dengan pohon mangga, namun pohon ceri dapat hidup berdampingan dengan pohon mangga, bila pohon mangga kita tanam di sebelahnya, yang akan lebih diminati ialah pohon mangga karena lebih manis, dalam artian menciptakan sekolah atau sistem Pendidikan baru yang mengutamakan substansi moral dan intelektual ketimbang embel-embel formal, seperti apa yang dilakukan Pak Julianto Eka Putra dengan Selamat pagi Indonesia-nya, atau Kang Irfan Amalee dengan Peacesantren-nya. Tapi tetap, kita tak dapat meninggalkan Pendidikan formal yang semakin ke sini bukan malah menuju kecerdasan, namun malah menuju dekadensi pikiran. 

    Ini yang akan saya jadikan sebagai topik Utama tulisan ini, yaitu problematika murid yang hanya ingin mengincar ijazah untuk kerja, bukan mencari ilmu untuk mengetahui dan mengubah dunia (yang saya sebut sebagai murid teler), juga problematika sekolah beserta guru kapitalis juga egosentris yang memberantas para murid kritis (saya sebut sebagai sekolah totaliter), saya akan mengupasnya secara filosofis seperti pada tulisan-tulisan sebelumnya. 

    Membahas soal filsafat pendidikan, filsafat Pendidikan menurut B. Othanel Smith ialah filsafat yang menyelidiki hakikat pelaksanaan Pendidikan mulai dari tujuan hingga hasilnya. Landasan filosofis Pendidikan yang dianut oleh Indonesia ialah apa yang terkandung dalam Pancasila, secara tautologis (hubungan) Pendidikan di Indonesia bertujuan Pancasila, Ber-latar belakang Pancasila, Dengan cara yang Pancasilais dan hasilnya ialah pribadi yang Pancasilais.

    Mungkin itu yang terkandung dalam definisi sekaligus filosofi Pendidikan kita. Namun, kita tak boleh menyeleweng jauh dari landasan historis dan fungsi empiris dari adannya Pendidikan, karena menurut G.W.F Hegel, Roh Absolut dari segala fenomenologi (Kejadian) di alam semesta ini ialah sejarahnya, kalau meninggalkannya, maka ilmu atau ide yang terkandung didalamnya tak lagi bermakna alias mati. 

    Kalau menggali landasan historis Pendidikan dari sudut definisi, tentunya sudah sejak manusia pertama Pendidikan telah ada, karena hakikat dari manusia sendiri ialah makhluk sosial, dimana ia tak bisa hidup tanpa sosialisasi, media sosialisasi sendiri ialah komunikasi, menurut Habermas, komunikasi antar pribadi juga bermakna sebagai saling mengajari, ajaran sendiri merupakan asas Utama daripada Pendidikan, begitu kiranya kalua saya ulas secara runtut tautologis (Berkaitan).

    Namun, bila kita memahami landasan historis Pendidikan dari segi institusi, mungkin Plato dengan Academia-nya lah yang menjadi Pendidikan institusional pertama. Plato sendiri mengajarkan perihal metode kepada kita, yakni suatu ide yang tertangkap oleh pikiran lebih nyata ketimbang obyek yang dilihat oleh mata. 

    Cara berpikir untuk menghasilkan suatu ide-lah yang menjadi tugas Utama Pendidikan menurut Plato, karena itulah landasan filosofis-historis dari Pendidikan institusional atau Pendidikan formal, Jadi penalaran lah yang menjadi asas metodis-historis-pedagogis Pendidikan yang fundamental daripada :

1. Ontologi Ilmu Pendidikan, Pembahasan mengenai hakikat substansi dan pola organisasi ilmu pendidikan

2. Epistemologi Ilmu pendidikan, Pembahasan mengenai hakikat objek formal-material ilmu pendidikan

3. Metodologi Ilmu pendidikan,  Pembahasan tentang cara kerja dalam menyusun ilmu pendidikan

4. Aksiologi Ilmu pendidikan,  Pembahasan tentang hakikat nilai kegunaan teoretis dan praktis ilmu pendidikan

    Memasuki paradigma metafisis dalam ruangan Pendidikan, metafisika ialah suatu cabang filsafat yang menyelidiki suatu yang ada di balik realitas saat ini, apa yang tak dapat dijelaskan secara teoretis oleh sains, akan dijelaskan secara metodis oleh metafisika.

    Dalam Pendidikan, Metafisika berperan  penting secara praktis, karena anak-anak bergaul dengan dunia sekitarnya, maka ia memiliki dorongan kuat untuk memahami segala sesuatu di sekitarnya, di sinilah akan timbul pertanyaan yang tak dapat dijelaskan secara ilmiah seperti: Kenapa manusia hidup? Siapa yang menghidupkan manusia? dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. 

    Di sinilah kita memasuki inti dari tulisan saya, yakni bagaimana bisa sekolah yang totaliter, dapat membuat murid beler. Secara filosofis dan historis, sekolah yang totaliter menyalahi dasar fundamental terciptannya Pendidikan institusional seperti apa yang saya uraikan, jadi dapat direduksi secara logis bahwa sekolah yang totaliter hanya memiliki hasrat kapitalis dan politis, walau secara substansial ia mendidik, tapi secara fungsional dan esensial, ia hanya mengangkat asas-asas legal-formal dan mengabaikan eksistensi dari pembangunan moral dan intelektual.

    Yang paling menakutkan adalah ketika sekolah totaliter menggunakan paradigma metafisis historis (kisah-kisah lama) untuk memberi substansi dogmatis bahwa murid tak boleh mengkritisi gurunya, kadangkala ia mengutip dari kisah seorang tokoh maupun ulama', isi dogma tersebut ialah bahwa ulama' maupun tokoh-tokoh hebat tak pernah melawan gurunya dan selalu menaatinya, padahal itu tergantung pada pribadi gurunya.

    Di sini secara otomatis Murid akan teler karena kehilangan idealisme-nya, dimana idealisme (ide) kata Schoupenhaur ialah dunia dari manusia, sekolah totaliter tersebut berhasil memusnahkan dunia muridnya.

    Sekolah demikian-lah yang menghambat tumbuhnya kecerdasan bangsa ini, seharusnya secara konseptual, sistem totaliter tak dapat hidup dalam sistem demokrasi, tapi mungkin benar kata Popper bahwa demokrasi hanyalah sistem biasa yang tak ada efeknya terhadap totalitarianism, juga Zizek yang mengatakan bahwa demokrasi hanyalah sebuah ilusi institusional dan konstitusional.

Konsep modern kebebasan berekspresi yang kita kenal saat ini diatur dalam:

1. Pasal 19 ayat 2 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia.

“Setiap orang berhak atas kebebasan berekspresi; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan menyebarkan informasi dan gagasan dalam bentuk apa pun, tanpa memandang batas negara, baik secara lisan, tertulis atau di media cetak, dalam bentuk karya seni, atau melalui media lain pilihannya.”

Dalam konstitusi nasional, kebebasan berekspresi dilindungi dengan:

2. Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.”

3. Pasal 28 F UUD 1945 “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.

    Kedua pasal dalam konstitusi ini menegaskan cita-cita Indonesia menjadi negara hukum yang berkedaulatan rakyat dan menjunjung tinggi HAM, termasuk hak atas kebebasan berekspresi. Undang-undang dasar harusnya menjadi acuan utama dan nafas produk hukum turunannya.

    Namun saya sedang tidak menyoroti diskursus kebebasan berpendapat atau berekspresi sebuah negara Karna mengingat bahwa telah banyak resonansi-resonansi kritik yang ditujukan ke negara namun saya sedang menyoroti prihal kebebasan berpendapat dan mengkritik dalam ranah kampus yang mungkin terjadi pula di kampus pembaca sekalian

    Pertama adalah prihal ketakutan dan kehawatiran mahasiswa dalam menyoroti dalam narasi kritis tentang segenap proses yang terjadi di kampus. Dari beberapa mahasiswa yang saya tanyakan mengapa tidak berani menyuarakan hal hal yang dianggap perlu untuk disampaikan pada pihak terkait lalu saya menemukan jawaban yang beragam, ada yang mengatakan bahwa ia adalah salah satu korban dari hilangnya beasiswa yang ia dapat Karna melakukan aksi, ada pula yang terhambat proses kelulusannya Karna memberikan kritik pada pihak tertentu di wilayah kampus, ada pula yang dimusuhi oleh beberapa dosen serta ditatap bak pencuri kelas kakap dan sinisme setiap kali bertemu, ada pula kaum putus asa setelah melihat beberapa peristiwa tersebut sehingga mengurungkan niat nya untuk mengkritisi kampus Karna hal tersebut hanya akan membahayakannya serta tidak akan mendapatkan hasil yang ia kehendaki, ada pula kaum apatis yang memang melihat terjadi sebuah katakanlah penyimpangan, ketidakadilan hak, namun mereka tidak mengkritisi justru diam dan mengalir apa adanya. Inilah sinopsis pendidikan Indonesia hari ini yang berusaha menghindari ketajaman  argumentasi dengan sebuah ancaman, namun saya tidak ingin menghakimi setiap pandangan mereka terhadap hal ini dengan akumulasi positif dan negatif namun bukan kah pendidikan tercipta untuk menciptakan manusia manusia yang memiliki kemampuan berfikir dan hakikat nya manusia itu adalah Khalifah di muka bumi ini bahkan pelajar atau mahasiswa itu disebut dengan seorang yang menuntut ilmu, sehingga secara terminologi kita adalah penuntut bukan penurut. 

    Kedua adalah Indonesia mengajarkan kita bahwa kemewahan sebuah negara terletak dari infrastruktur yang indah, sehingga tercitra lah kita sebagai bahasa yang maju padahal jika kemajuan berorientasi pada pembangunan fisik maka itu adalah kemunduran intelektualitas bangsa. Termasuk dalam konteks dunia kampus, kampus akan bermartabat dan akan dibanggakan jika bangunan nya bak kayangan, padahal dibalik itu pula kita melihat terjadi transformasi pemikiran yang sudah tidak diperhitungkan, kita melihat terjadi pergeseran penampilan dan bukan memperhatikan penalaran, kita melihat bahwa dengan bangunan yang megah kita terobsesi untuk melakukan kerja sama secara diplomatis pada dunia luar padahal penduduk nya masih janggal dengan pemikiran. 

    Ketiga adalah tentang demokrasi yang berbasis politik identitas dan semacam sistem dinasti sehingga berdampak pada pertumbuhan dari mahasiswa itu sendiri, bukan kah sebuah kemajuan salah satu komposisi nya adalah berlaga dan bertanding dengan banyak orang sehingga mereka yang tidak berkembang akan memacu untuk berkembang dalam banyak aspek. Atmosfer kontestasi semacam ini justru akan membuat mahasiswa akan kian berkembang. 

    Keempat adalah tentang fungsi dan peran dari Badan Eksekutif Mahasiswa, Senat Eksekutif Mahasiswa, para Himpunan mahasiswa jurusan, jika kita menilik konteks struktur negara maka replika dari negara tersebut adalah Universitas, ajaib nya beberapa tahun terakhir kita melihat stagnasi program dan misi dari steak holder tersebut dalam menumbuhkan dan mewadahi potensi mahasiswa. Sangat kentara transisi perkembangan senior senior kita dulu yang hari hari nya disesaki oleh tumpukan kegiatan yang disediakan oleh BEM,SEMA, atau HIMA, Organisasi Eksternal dan Organisasi Internal, sehingga senior senior kita dulu tumbuh menjadi mahasiswa yang berbakat dalam banyak aspek namun hari ini bagaimana? Wajar saja jika banyak mahasiswa yang sudah tidak menggandrungi Organisasi Eksternal maupun internal kampus dan mereka lebih memilih menjadi penurut dan segera di wisuda. Untuk itu BEM, SEMA, HIMA, jika ingin menjadi legenda dan menjadi catatan penting sejarah maka ia harus memiliki orientasi berbeda dalam langkah dan pemikiran yang nanti nya tidak gagap merealisasikan misi nya untuk kemaslahatan banyak orang lalu imbas dari itu adalah negara kian maju dalam konteks pemikiran dll.

Mungkin tulisan ini di anggap sebuah kritikan yang divonis sebagai kejahatan atau ketidaksopanan, bahkan ketidakpatuhan namun sejati nya ini lahir Karna sebuah harapan dan optimisme yang kuat terhadap kemajuan. Mengapa dengan tulisan Karna terobsesi dengan para ulama besar dan orang orang hebat yang elegan dalam mengingat kan melalui tulisan. Dan ini adalah pandangan subjektif yang tidak sedang menghakimi pihak pihak tertentu namun kegelisahan jika ini terus berlanjut.

#kita butuh Pemimpin yg telinga nya dekat dengan tanah, bukan tanah yang dijarah. Kita butuh pemimpin yang terbuka dikritik bukan yang kedap terhadap kritik.

Pesan saya kepada guru totaliter :

 "Kalau mengajar hanya sebatas mencari gaji, anda tak layak di puji. kalau Anda mengajar demi murid dan menggunakan hati, maka semua murid termasuk saya akan mengingat anda sampai mati"

 Untuk para murid :

 "Kritisi gurumu yang egosentris, hormati gurumu yang tak apatis, lakukan semua itu dengan sopan, tunjukkan bahwa kita berpendidikan"





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Leiden is Lijden: Minggat Adalah Jalan Perjuangan

Saya menyukai film yang bertemakan atau berlatar peperangan. Salah satu judul film peperangan yang saya tonton lebih dari tiga kali berjudul...