Jumat, 17 Januari 2025

Turbulensi pendidikan dan Eksploitasi Makna Guru: Guru Berusia Muda Berjiwa Tua

 


Tulisan ini lahir dari beberapa Fenomena dan diskusi kecil kecilan saya dengan salah seorang senior tentang hakikat guru dan tragedi pendidikan hari ini. Awal nya bertumpuk ucapan selamat dari seseorang terhadap seseorang atas capaian nya telah dinyatakan lolos CPNS, ada pula yg untaian harapan dan doa atas jerih payahnya sehingga sampai pada titik kelulusan P3K, ada pula yang menggerutu karna tidak lulus dalam tahapan tahapan nya, ajaib nya ada pula yg berkomentar bahwa "eh kemarin teman saya pakai uang untuk lolos tahapan itu, nominal nya .........(Di terka aja ya).

Salah satu problem pelik pendidikan kita hari ini adalah kondisi guru yang terlempar ke lembah rutinitas mengajar. Guru tak lagi memaknai proses mengajarnya sebagai gerakan perubahan, melainkan mengimani aktivitasnya sebagai pengulangan-pengulangan belaka. Guru semacam ini banyak dijumpai dan secara serentak menggiring pendidikan ke lembah gelap kehampaan. 

A. Konsep Keterlemparan dan Topi Pesulap

Martin Heidegger, mengungkapkan sebuah kenyataan ironis bahwa manusia merupakan makhluk yang terlempar ke alam semesta tanpa tahu asal-muasalnya. Pada mulanya, kenyataan manusia tanpa asal ini membuat gelisah. Manusia mulai bertanya-tanya asal usul entitas dirinya. Manusia mulai merenung dan berpikir. Kondisi manusia yang demikian oleh Heidegger disebut sebagai kondisi manusia autentik: sebuah kondisi manusia yang gelisah, merenung, dan berpikir tentang asal muasal keterlemparannya. 

Namun, seiring berjalannya waktu, manusia mulai berkumpul dan membentuk peradabannya sendiri. Manusia membangun budaya dan kesibukan, hingga lupa atas kegelisahan asal-muasal keterlemparannya. Pada akhirnya, manusia mulai terlena dan terjebak dalam lingkaran rutinitas kesibukannya sehari-hari. Kondisi manusia yang demikian disebut sebagai kondisi manusia inautentik: sebuah kondisi manusia yang tak lagi gelisah, tapi justru mulai terbiasa dengan kesibukan rutinitas sehari-harinya. Manusia hilang sentuhan renungan dan daya pikirnya dalam mendobrak misteri keterlemparannya ke alam semesta raya. 

Gambaran kondisi manusia autentik dan inautentik dari Martin Heidegger ini dianalogikan dalam narasi Topi Pesulap di buku Dunia Sophie. Di buku itu, manusia ibarat kutu yang tinggal tersembunyi dalam bulu kelinci yang dikeluarkan oleh pesulap dari topinya. Di satu sisi, kutu-kutu itu berusaha memanjat bulu kelinci untuk mengetahui asal-muasal dirinya dan identitas pesulap yang menghadirkannya. Sedangkan di sisi lain, kutu-kutu yang justru sibuk sendiri dan menerima begitu saja keadaan dirinya di dalam tubuh kelinci tanpa upaya memanjat untuk menemukan jawaban hakikat hidupnya. Kutu-kutu yang berusaha memanjat bulu-bulu kelinci menggambarkan seorang filsuf yang terus gelisah dalam mencari hakikat hidupnya. Hal ini serupa dengan konsep manusia autentik dari Heidegger. Sementara itu, kutu-kutu yang memilih sibuk dengan rutinitas di balik bulu kelinci adalah kalangan manusia  inautentik. 

B. Fase Keterlemparan Guru

Kondisi keterlemparan dan peralihan dari manusia autentik ke manusia inautentik ini selaras dengan kondisi kenyataan guru di negeri ini. Banyak guru kehilangan kegelisahannya sebagai seorang pendidik dan memilih terjebak pada rutinitas mengajar. Bagi guru inautentik, mengajar tak lebih dari sekadar pengulangan rutinitas terus menerus tanpa upaya pendalaman makna yang berarti. 

Secara fenomenologis, ada 3 fase transisi keterlemparan guru ke lembah rutinitas mengajar. Fase pertama adalah fase gairah. Pada mulanya, guru akan bergairah untuk mengajar. Guru secara bersemangat dan serius menarasikan pengetahuan yang diketahuinya. Guru-guru gairah ini tercermin dalam tubuh para guru-guru muda. Guru-guru fresh graduate yang wawasan dan pengetahuannya masih fresh. 

Seiring berjalannya waktu, guru fresh graduate mulai memiliki pengalaman mengajar 1-2 tahun. Selama itu, ia mulai menemukan ritme mengajar yang dirasa efektif dan membuatnya nyaman. Kondisi nyaman ini menjadikan guru masuk pada fase kedua, yaitu fase pengulangan. 

Fase pengulangan ini menggambarkan kondisi guru yang cenderung melakukan pengulangan dalam dua aspek, yaitu materi yang diajarkan dan cara dalam mengajar. Kedua aspek ini diulang terus menerus tanpa henti pada generasi yang berbeda. Pengulangan ini membawa guru pada perangkap pelik bernama keangkuhan pengalaman. Guru merasa telah berpengalaman dalam mengajar keilmuannya dan mulai menjadi angkuh untuk mengklaim dirinya sebagai sang pendidik ahli. Padahal kenyataannya, guru yang demikian adalah guru yang terjebak pada fase pengulangan menuju keterlemparan. 

Pengulangan cara dan materi mengajar yang dilakukan secara terus menerus ini membuat guru terlempar pada lembah rutinitas mengajar. Mengajar tak lagi dimaknai sebagai proses perlawanan atas kebodohan dan agenda perubahan, melainkan hanya menjadi rutinitas berulang tanpa makna. Mengajar kian menjadi aktivitas yang taken for granted, dianggap remeh, dan diterima begitu saja. Guru yang demikian telah menjelma guru inautentik. 

Secara konkret, kondisi guru inautentik dapat dideteksi dalam cara dan materi pengajarannya. Guru yang hanya mengulang materi secara template, sama persis, dan tanpa perubahan signifikan adalah guru inautentik. Guru yang cara mengajarnya begitu-begitu saja, ceramah dan marah-marah, tanpa perubahan berarti untuk menyesuaikan kondisi zamannya, adalah guru inautentik. Guru yang enggan belajar hal baru dan update pada kajian terbaru atas keilmuannya adalah guru inautentik; guru yang terlempar pada lembah rutinitas mengajar.

Puncaknya, guru inautentik akan terlihat seperti zombie. Mengajar lempeng tanpa gairah. Kehilangan makna utama dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Mentalitas mengajarnya mengkerut dan berubah hanya sekadar rutinitas berulang selama bertahun-tahun. Tanpa perubahan, tanpa pergerakan, dan tanpa hasil yang berarti. 

C. Hari Guru sebagai Refleksi bukan Ceremonial

Kenyataan ini merupakan ironi eksistensial yang dialami guru. Guru mula-mula bergairah. Penuh ambisi dan misi dalam pendidikan. Dua-tiga tahun beralih pada fase pengulangan akibat keangkuhan pengalaman. Sisanya, guru mulai terlempar ke alam rutinitas mengajar yang menjadikannya inautentik. 

Rasa-rasanya, persoalan eksistensial guru ini perlu diatasi pula dengan terapi eksistensial, yaitu refleksi. Guru perlu bercermin secara rutin melalui perenungan. November sudah berlalu yg berganti Januari 2025 dapat menjadi agenda refleksi yang strategis sebagai seorang guru, mengingat November merupakan bulannya seorang guru kendati sudah lewat namun bila diperhatikan secara seksama Hal ini dapat dijadikan momentum perenungan bagi guru untuk memahami kondisi eksistensialnya dengan mengajukan pertanyaan serius seputar; “masihkah saya seorang guru?”, “masihkah saya seorang guru yang autentik?”, “sudah terlempar sejauh mana saya dari jalur gelisah tentang pendidikan?”

Dengan refleksi dalam aktivitas perenungan, guru akan melakukan kritik eksistensial pada dirinya. Hasil kritik tersebut dapat menjadi modal untuk guru mengembalikan software kegelisahannya dalam mendidik. Guru akan kembali. Dengan demikian, guru akan terus bergairah dan tetap autentik di sepanjang zaman. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar