Rabu, 22 Januari 2025

Leiden is Lijden: Minggat Adalah Jalan Perjuangan

Saya menyukai film yang bertemakan atau berlatar peperangan. Salah satu judul film peperangan yang saya tonton lebih dari tiga kali berjudul: The 12th Man. Film buatan Norwegia ini mengisahkan salah satu kisah pejuang negara itu semasa perang dunia kedua. Pejuang itu bernama Jan Baalsrud.

Dikisahkan dalam film ini, Jan adalah seorang dari 12 orang pejuang Norwegia, yang ditugaskan pemerintah negaranya untuk melakukan sebuah misi. Misinya adalah menyabotase sebuah pos kapal perang Nazi Jerman. Naas, misi yang harusnya bersifat rahasia malah ketahuan oleh pihak Nazi Jerman. Kesebelas pejuang tertangkap dan berujung pada hukuman mati. Hanya Jan yang menjadi satu-satunya yang selamat.

Sendirian, misi yang gagal dan tidak akan mungkin untuk dituntaskan, dan sekarang menjadi buronan tentara Nazi seNorwegia, benar-benar membuat Jan berada dalam tekanan yang tidak bisa dibayangkan. Tentu hasutan untuk mengakhiri hidup ada dipikirannya, bahkan ia nyaris melakukannya. Tapi ia sadar kematiannya lah yang diinginkan pihak Nazi. Ia tak ingin pihak Nazi yang menang, ia ingin Norwegialah yang menang. Hidupnya adalah simbolik dari api perjuangan Norwegia yang masih menyala. Dan setelah semua yang terjadi, dalam benaknya kini hanya ada pikiran: ia harus kabur dengan selamat keluar dari Norwegia, jangan sampai Nazi Jerman berhasil menangkapnya.

Kisah Jan andai disamakan dengan pejuang Indonesia, agaknya nama Tan Malaka akan muncul untuk dikaitkan. Kisah petualangan Tan yang berkeliling di berbagai negara, yang selalu kabur dari polisi imperial internasional dan akhirnya dapat kembali ke Indonesia, barangkali mirip dengan kisah seorang Jan Baalsrud.

Tapi terdapat satu nama lagi yang mungkin jarang didengar. Seorang pejuang yang jalan perjuangannya sama seperti Jan juga Tan, dengan lari dan kabur. Seorang tokoh pergerakan pada masa periode 1920an, saat Hindia penuh dengan gerakan radikal menentang pemerintah kolonial. Pejuang itu bernama Thomas Najoan.

Thomas Najoan di Tanah Pembuangan

“Thomas Najoan adalah tokoh unik yang kurang dikenal meski ia sebenarnya juga orang penting pada masa-masa pergerakan nasional,” tulis sejarawan Petrik Matanasi dalam buku tipis yang memang ditujukan untuk Thomas Najoan berjudul: Thomas Najoan Si Raja Pelarian Dalam Pembuangan. Tak diragukan, Najoan memang tokoh penting pada pergerakan nasional awal. Hal ini dapat dilacak dengan mencari tahu nama tempat yang Najoan tempati selama dibuang di Boven Digul. Tempat itu bernama Tanah Tinggi.

Di Boven Digoel, tempat pembuangan buatan kolonial Belanda, terdapat dua tempat yang ditujukan kepada mereka para penentang pemerintahan kolonial saat itu. Kedua tempat itu bernama Tanah Merah dan Tanah Tinggi. Tanah Tinggi adalah nama tempat yang dikhususkan untuk orang-rang buangan khusus. Di sana lah para pemimpin pergerakan, propagandis, dan orang-orang yang merupakan ancaman serius pemerintah kolonial bertempat. Mereka yang menempati Tanah Tinggi adalah golongan, yang pemerintah kolonial menyebutnya, de naturalisten. 

Takashi Shiraishi dalam bukunya Dunia Hantu Digul menjelaskan bahwa golongan de naturalisten adalah mereka yang menolak melakukan pekerjaan apa pun pada pemerintah kolonial. Mereka adalah orang yang memegang teguh “prinsip” mereka. Pemerintah kolonial menganggap mereka adalah orang-orang yang sangat radikal. Akibatnya tindak-tanduk mereka di Digul selalu diawasi, jatah pangan yang berbeda dengan jatah makan orang buangan di Tanah Merah, sampai tidak memiliki kesempatan untuk pulang ke keampung halaman.

Keteguhan penghuni Tanah Tinggi untuk menolak pekerjaan selama masa pembuangan adalah bentuk perlawanan, dan Thomas Najoan adalah salah satunya. Soe Hok Gie pernah menulis dalam bukunya yang menjelaskan ketidak kompromian Najoan dan kawan-kawannya.

Gie menulis, “Betapa kerasnya watak Mas Marco, Boedisotjitro, Winanta dan Najoan yang menolak utusan Gubernur Jendral menemui mereka. Padahal pertemuan dengan utusan itu mungkin akan membebaskan mereka dari neraka digoel.”

Di mata orang buangan yang berada di Tanah Merah, melihat orang buangan yang berasal dari Tanah Tinggi adalah antara benci dan kagum. Mereka barangkali membayangkan bahwa orang-orang Tanah Tinggi adalah orang yang tidak mengenakkan. Tapi Najoan adalah figur yang berbeda. Meski termasuk orang-orang yang berpunggung keras utuk tunduk pada pemerintahan kolonial, tetapi secara pribadi, dia adalah orang yang menarik. Najoan adalah orang yang riang, optimis, humoris, dan suka tertawa.

Deskripsi bagaimana sosok Thomas Najohan dapat ditemukan dalam catatan Sutan Syahrir. Tokoh nasional yang berjuluk bung kecil ini menuliskan bagaimana Najohan di matanya. Dia pun punya panggilan tersendiri untuh Najoan.

“Seorang manusia yang baik, berbudi luhur dan berpendidikan. Rasa humanitasnya yang besar berasal dari etika agama Kristen; ia seorang Manado dan beragama Kristen. Selain itu, ia salah seorang sosialis Indonesia yang pertama-tama, mulai dari zaman Sneevliet dan Baars,” tulis Syahrir.

Rudolf Mrazek, seorang pakar sejarah modern Asia Tenggara, pernah mewawancarai seseorang yang semasa kecilnya adalah penghuni Digul. Seseorang itu mengatakan kepada Mrazek bahwa Najoan itu perawakannya tidak tinggi tetapi kekar. Jalannya gagah dan selalu berpakaian rapi dengan memakai topi serta membawa tongkat. Hal ini selaras dengan catatan Mas Marco, seorang rekan Thomas Najoan yang juga pernah menulis bahwa Najoan adalah orang yang kekar serta riang. Pribadinya yang positif membuat ia mudah bergaul. Juga ia memiliki senjata untuk musuh terkuat dan paling mematikan yang bersemayam di Boven Digul: rasa sepi.

Minggat adalah Jalan Perjuangan 

Tan Malaka pernah menuliskan perasaannya atau barangkali kegundahannya menjadi seorang pelarian dalam buku autobiografinya. Tan mengungkapkan bahwa orang Indonesia baru akan bersyukur akan hidupnya jika berada di lingkungan yang asing. Lingkungan yang asing dalam hal ini adalah luar negeri yang mana orang yang berbangsa beda, bahasa beda, dan sebagainya.

“Terutama kalau kita berada dalam kemiskinan di tengah-tengah hawa iklim, masyarakat, dan semuanya asing, sehingga banyak iman yang pecah, orang buangan kembali diam-diam, bunuh diri atau hidup seperti hewan (demoralisasi). Jarang yang bisa memegang prinsip semula teguh dan imannya,” tulis Tan.

Seperti uraian Tan, Thomas Najoan juga pernah mengalaminya. Meski lingkunngannya bukan sedang berada di luar negeri, serta merupakan seorang periang dan mudah bergaul, ia pernah merasakan pada titik frustasi dan putus asa. Hal itu pernah dia ungkapkan pada petugas pemrintahan yang sedang melakukan survei. Petugas itu kemudian mencatat, “Najoan yang terkenal tangguh menyatakan dengan sungguh-sungguh: “Disini hidup benar-benar sepi.” Petugas itu berasumsi bahwa kejiwaan Najoan tidak stabil bahkan mengira Najoan telah Gila. Ungkapan Najoan yang didapat dari petugas itu mendapat tafsiran lain dari sejarawan Petrik Matanasi. Petrik menjelaskan bahwa itu sebatas pernyataan yang umum dan bukan menunjukkan masalah kejiwaan. Menurutnya itu merupakan sikap bahwa perlawanan dari Najoan masih dilakukan: tetap bertahan di Tanah Tinggi yang situasi sepinya melebihi situasi sepi Tanah Merah. Puncak dari frustasi Najoan adalah percobaan bunuh diri yang dia lakukan. Untungnya dia selamat karena lekas dibawa ke rumah sakit.

Siksaan rasa sepi memang tidak main-main. Supaya terlepas dari siksaaan ini, penghuni Boven Digul, baik yang berada di Tanah Merah atau Tanah Tinggi menyibukkan diri. Thomas Najoan juga seperti mereka, tetapi mungkin mencari kesibukan dengan cara kabur dari Digul hanya dimiliki sedikit penghuni. Najoan paham betul ia tidak mungkin dipulangkan ke Manado, kampung halamannya. Pikiran untuk kabur inilah yang juga menjadi semangat Najoan untuk hidup dan menyelamatkannya dari arus kegilaan yang banyak didera oleh penghuni lain. Serta menjadi upaya perjuangannya.

“Siapa yang hendak lari Musti berani Mati. Siapa yang Cuma ingin hidup saja dengan selamat jangan coba melarikan diri.”

Kutipan ini berasal dari cerpen berjudul Pandu Anak Buangan karangan Abdoe’lXarim M.s. Cerpen ini dapat ditemukan dalam kumpulan cerpen Cerita dari Digul suntingan Pramoedya Ananta Toer. Pengarang tersebut, yang juga merupakan teman sekamp dengan Thomas Najoan di Boven Digul, terkait kutipannya kiranya sangat relevan bila ditujukan pada perjuangan Thomas Najoan untuk keluar dari Boven Digul.

Pada 1942 waktu tentara Jepang menginvasi Hindia Belanda, Najoan memutuskan untuk kabur yang ketiga kalinya. Ia kabur bersama dua kawan lain yaitu Mustajab dan Saleh Rais. Najoan dan Saleh Rais tidak pernah ditemukan, sedangkan Mustajab ditemukan dengan bagian organ dalam tubuh yang hilang, mengapung di Sungai Digoel. Rumor beredar rombongan tersebut diserang suku kanibal yang masih menghuni disana.

Meski Najoan hilang dan sampai sekarang keberadaannya belum jelas rimbanya, pelariannya membuktikan ia adalah figur yang menentang kolonial bagaimanapun caranya. Ia tidak tunduk pada pemerintah kolonial meski bujuk rayu, sanksi, dan sebagainya pernah diberikan padanya.

Sekalipun, ia musti hidup di Boven Digul yang merupakan neraka kesepian selama 11 tahun dan dua kali gagal dalam upayanya kabur. Yang paling jelas akhirnya Najoan adalah pemenangnya. Ia berhasil kabur dari Digul, walaupun menghilang. Tapi pengorbanannya ini menandakan dua hal: pertama, pemerintah kolonial Belanda tidak dapat menangkap dan membawa kembali Najoan; kedua, Thomas Najoan yang hidup selama 11 tahun di Boven Digul menunjukkan, meminjam kalimat Petrik Matanasi bahwa “senyuman dan sikap riang Thomas Najoan adalah kegagalan pemerintah kolonial dari tujuan menciptakan Boven Digul.

 

Jumat, 17 Januari 2025

Turbulensi pendidikan dan Eksploitasi Makna Guru: Guru Berusia Muda Berjiwa Tua

 


Tulisan ini lahir dari beberapa Fenomena dan diskusi kecil kecilan saya dengan salah seorang senior tentang hakikat guru dan tragedi pendidikan hari ini. Awal nya bertumpuk ucapan selamat dari seseorang terhadap seseorang atas capaian nya telah dinyatakan lolos CPNS, ada pula yg untaian harapan dan doa atas jerih payahnya sehingga sampai pada titik kelulusan P3K, ada pula yang menggerutu karna tidak lulus dalam tahapan tahapan nya, ajaib nya ada pula yg berkomentar bahwa "eh kemarin teman saya pakai uang untuk lolos tahapan itu, nominal nya .........(Di terka aja ya).

Salah satu problem pelik pendidikan kita hari ini adalah kondisi guru yang terlempar ke lembah rutinitas mengajar. Guru tak lagi memaknai proses mengajarnya sebagai gerakan perubahan, melainkan mengimani aktivitasnya sebagai pengulangan-pengulangan belaka. Guru semacam ini banyak dijumpai dan secara serentak menggiring pendidikan ke lembah gelap kehampaan. 

A. Konsep Keterlemparan dan Topi Pesulap

Martin Heidegger, mengungkapkan sebuah kenyataan ironis bahwa manusia merupakan makhluk yang terlempar ke alam semesta tanpa tahu asal-muasalnya. Pada mulanya, kenyataan manusia tanpa asal ini membuat gelisah. Manusia mulai bertanya-tanya asal usul entitas dirinya. Manusia mulai merenung dan berpikir. Kondisi manusia yang demikian oleh Heidegger disebut sebagai kondisi manusia autentik: sebuah kondisi manusia yang gelisah, merenung, dan berpikir tentang asal muasal keterlemparannya. 

Namun, seiring berjalannya waktu, manusia mulai berkumpul dan membentuk peradabannya sendiri. Manusia membangun budaya dan kesibukan, hingga lupa atas kegelisahan asal-muasal keterlemparannya. Pada akhirnya, manusia mulai terlena dan terjebak dalam lingkaran rutinitas kesibukannya sehari-hari. Kondisi manusia yang demikian disebut sebagai kondisi manusia inautentik: sebuah kondisi manusia yang tak lagi gelisah, tapi justru mulai terbiasa dengan kesibukan rutinitas sehari-harinya. Manusia hilang sentuhan renungan dan daya pikirnya dalam mendobrak misteri keterlemparannya ke alam semesta raya. 

Gambaran kondisi manusia autentik dan inautentik dari Martin Heidegger ini dianalogikan dalam narasi Topi Pesulap di buku Dunia Sophie. Di buku itu, manusia ibarat kutu yang tinggal tersembunyi dalam bulu kelinci yang dikeluarkan oleh pesulap dari topinya. Di satu sisi, kutu-kutu itu berusaha memanjat bulu kelinci untuk mengetahui asal-muasal dirinya dan identitas pesulap yang menghadirkannya. Sedangkan di sisi lain, kutu-kutu yang justru sibuk sendiri dan menerima begitu saja keadaan dirinya di dalam tubuh kelinci tanpa upaya memanjat untuk menemukan jawaban hakikat hidupnya. Kutu-kutu yang berusaha memanjat bulu-bulu kelinci menggambarkan seorang filsuf yang terus gelisah dalam mencari hakikat hidupnya. Hal ini serupa dengan konsep manusia autentik dari Heidegger. Sementara itu, kutu-kutu yang memilih sibuk dengan rutinitas di balik bulu kelinci adalah kalangan manusia  inautentik. 

B. Fase Keterlemparan Guru

Kondisi keterlemparan dan peralihan dari manusia autentik ke manusia inautentik ini selaras dengan kondisi kenyataan guru di negeri ini. Banyak guru kehilangan kegelisahannya sebagai seorang pendidik dan memilih terjebak pada rutinitas mengajar. Bagi guru inautentik, mengajar tak lebih dari sekadar pengulangan rutinitas terus menerus tanpa upaya pendalaman makna yang berarti. 

Secara fenomenologis, ada 3 fase transisi keterlemparan guru ke lembah rutinitas mengajar. Fase pertama adalah fase gairah. Pada mulanya, guru akan bergairah untuk mengajar. Guru secara bersemangat dan serius menarasikan pengetahuan yang diketahuinya. Guru-guru gairah ini tercermin dalam tubuh para guru-guru muda. Guru-guru fresh graduate yang wawasan dan pengetahuannya masih fresh. 

Seiring berjalannya waktu, guru fresh graduate mulai memiliki pengalaman mengajar 1-2 tahun. Selama itu, ia mulai menemukan ritme mengajar yang dirasa efektif dan membuatnya nyaman. Kondisi nyaman ini menjadikan guru masuk pada fase kedua, yaitu fase pengulangan. 

Fase pengulangan ini menggambarkan kondisi guru yang cenderung melakukan pengulangan dalam dua aspek, yaitu materi yang diajarkan dan cara dalam mengajar. Kedua aspek ini diulang terus menerus tanpa henti pada generasi yang berbeda. Pengulangan ini membawa guru pada perangkap pelik bernama keangkuhan pengalaman. Guru merasa telah berpengalaman dalam mengajar keilmuannya dan mulai menjadi angkuh untuk mengklaim dirinya sebagai sang pendidik ahli. Padahal kenyataannya, guru yang demikian adalah guru yang terjebak pada fase pengulangan menuju keterlemparan. 

Pengulangan cara dan materi mengajar yang dilakukan secara terus menerus ini membuat guru terlempar pada lembah rutinitas mengajar. Mengajar tak lagi dimaknai sebagai proses perlawanan atas kebodohan dan agenda perubahan, melainkan hanya menjadi rutinitas berulang tanpa makna. Mengajar kian menjadi aktivitas yang taken for granted, dianggap remeh, dan diterima begitu saja. Guru yang demikian telah menjelma guru inautentik. 

Secara konkret, kondisi guru inautentik dapat dideteksi dalam cara dan materi pengajarannya. Guru yang hanya mengulang materi secara template, sama persis, dan tanpa perubahan signifikan adalah guru inautentik. Guru yang cara mengajarnya begitu-begitu saja, ceramah dan marah-marah, tanpa perubahan berarti untuk menyesuaikan kondisi zamannya, adalah guru inautentik. Guru yang enggan belajar hal baru dan update pada kajian terbaru atas keilmuannya adalah guru inautentik; guru yang terlempar pada lembah rutinitas mengajar.

Puncaknya, guru inautentik akan terlihat seperti zombie. Mengajar lempeng tanpa gairah. Kehilangan makna utama dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Mentalitas mengajarnya mengkerut dan berubah hanya sekadar rutinitas berulang selama bertahun-tahun. Tanpa perubahan, tanpa pergerakan, dan tanpa hasil yang berarti. 

C. Hari Guru sebagai Refleksi bukan Ceremonial

Kenyataan ini merupakan ironi eksistensial yang dialami guru. Guru mula-mula bergairah. Penuh ambisi dan misi dalam pendidikan. Dua-tiga tahun beralih pada fase pengulangan akibat keangkuhan pengalaman. Sisanya, guru mulai terlempar ke alam rutinitas mengajar yang menjadikannya inautentik. 

Rasa-rasanya, persoalan eksistensial guru ini perlu diatasi pula dengan terapi eksistensial, yaitu refleksi. Guru perlu bercermin secara rutin melalui perenungan. November sudah berlalu yg berganti Januari 2025 dapat menjadi agenda refleksi yang strategis sebagai seorang guru, mengingat November merupakan bulannya seorang guru kendati sudah lewat namun bila diperhatikan secara seksama Hal ini dapat dijadikan momentum perenungan bagi guru untuk memahami kondisi eksistensialnya dengan mengajukan pertanyaan serius seputar; “masihkah saya seorang guru?”, “masihkah saya seorang guru yang autentik?”, “sudah terlempar sejauh mana saya dari jalur gelisah tentang pendidikan?”

Dengan refleksi dalam aktivitas perenungan, guru akan melakukan kritik eksistensial pada dirinya. Hasil kritik tersebut dapat menjadi modal untuk guru mengembalikan software kegelisahannya dalam mendidik. Guru akan kembali. Dengan demikian, guru akan terus bergairah dan tetap autentik di sepanjang zaman. 

Leiden is Lijden: Minggat Adalah Jalan Perjuangan

Saya menyukai film yang bertemakan atau berlatar peperangan. Salah satu judul film peperangan yang saya tonton lebih dari tiga kali berjudul...