Nanang Tahqiq Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pernah Mengatakan “ada 3 kekuatan kunci yang saling bertaut telah menciptakan HMI begitu memukau, 1 Latihan kader, dua Tradisi Intelektual, dan tiga adalah Independensi. 3 kunci tersebut menjadi sesuatu yang sacral dan Istimewa bagi hmi sehingga kunci tersebut menjadi kekuatan yang merupakan tidak tercerai dan utuh, elemen-elemen pokok yang saling menunjang dalam membangun basis perkaderan yang Tangguh, lewat Bahasa hmi ketiga unsur tersebut ditujukan demi meraih tujuan hmi. Dalam paparan tentang 3 kunci yang saling bertautan itu Kesimpulan yang bisa kita ketengahkan bahwa hmi kehilangan nama (tuah, kekuatan, batin)
Tulisan ini berangkat dari fenomena yang dalam beberapa tahun terakhir saya lihat sangat popular di tengah tengah kader hmi namun bukan intelektualitas, bukan pula spritualitas, bukan pula prestasi, namun justru tergerusnya Independensi dalam sikap dan dan jati diri kader hmi pada perayaan demokrasi dan hari-hari.
Di dalam Konstitusi HMI, Independensi dibagi atas 2 yaitu independensi organisatoris dan independensi etis. Independensi organisatoris diatur dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) HMI, sebagaiamana tertuang dalam pasal 5 jo pasal 18 ayat 3 Anggaran Dasar (AD) HMI tentang sifat organisasi yang berbunyi; "HMI adalah organisasi yang bersifat Independen". Selain itu, pelanggaran terhadap independensi organisasi dapat merusak citra organisasi, kondisi ini tentu melanggar ketentuan pasal 5 ayat (1) Anggaran Rumah Tangga (ART) HMI yang berbunyi; "Setiap anggota HMI berkewajiban menjaga nama baik organisasi", karena tindakan-tindakan demikian telah memperburuk citra organisasi dimata publik. Selain itu, jika tindakan melanggar independensi organisasi dilakukan oleh pengurus dalam hal ini adalah Ketua Umum baik pada tingkat PB, Cabang, hingga Komisariat, maka masing-masing melanggar ketentuan pasal 18 ayat 9 huruf a, pasal 27 ayat 8 huruf b, dan pasal 36 ayat 8 huruf a Anggaran Rumah Rangga (ART) HMI, yang berbunyi; "Ketua Umum dapat diberhentikan dan diangkat pejabat ketua umum sebelum kongres/konfercab/rak apabila membuat pernyataan publik atas nama PB/Cabang/Komisariat yang melanggar Anggaran dasar pasal 5", dan yang terakhir jika anggoata HMI tergabung dalam partai politik maka melanggaran ketentuan pasal 3 ayat 4 huruf d yang berbunyi, "Masa keanggoataan berakhir apabila menjadi anggota partai politik".
Selain independensi organisatoris, independensi etis juga harus dikedepankan dalam setiap persoalan proses kader. Himpunan Mahasiswa Islam memiliki segenap nilai, kebiasaan, dan tradisi-tradisi yang membentuk karakter kader yang kemudian terjelma dalam independensi secara etis, sehingga pola pikir, pola sikap, dan pola kerja kader diarahkan kepada kebaikan. Independensi etis pada hakekatnya merupakan karakter kader yang sejalan dengan fitrah manusia, yaitu cenderung pada kebenaran (hanief). Aktualisasi dari indpendensi etis ini tertuang dalam 5 profil kader HMI yaitu:
1. Cenderung kepada kebenaran (hanief)
2. Bebas, terbuka, dan merdeka
3. Objektif, rasional, dan kritis
4. Progresif dan dinamis
5. Demokratis Jujur dan Adil
Dari penjabaran di atas kitab isa menghayati bahwasanya hmi hanya bersekutu pada kebenaran itu sendiri, lagi pula hmi pada awal berdirinya hmi dengan tegas dan keras menyatakan bahwa hmi sebagai organisasi yang independent seperti awal lahirnya dan menyatakan bahwa hmi bukan underbow dari partai masyumi. Dan tidak itu saja hmi bukan underbow dari pihak manapun atas dasar dan alasan apapun.
Lantas mengapa hari ini kita sebagai kader hmi bergitu terang benderang mengacung jari isyarat pasangan calon tertentu, lantas mengapa kita tidak malu membagikan momen-momen politis bersama pasangan calon tertentu, lalu mengapa kita berteriak no pasangan calon tertentu serta mengajak kader-kader hmi yang baru saja dikukuhkan menjadi kader hmi dan mahasiswa yang masih berstatus kader. Dimana gaungan independensi hmi yang kerap kita teriakan di depan khalayak ramai?
Bukankah kita mengetahui dalam buku Lafran Pane:Jejak Hayat dan Pemikiranya. Bahwa Lafran Pane pernah ditawarkan menduduki jabatan strategis dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP), hal yang sama juga di lakukan oleh Partai Golkar namun dengan tegas dan keras Lafran Pane menolak seluruh tawaran tersebut dengan konsisten dan komitmen dengan berkata “kalo saya masuk partai politik atau organisasi lain maka hmi sudah tidak di anggap independent lagi. Jika dihayati maka kita bertemu pada Kesimpulan bahwa memang hmi didirikan sebagai organisasi mahasiswa bukan dibentuk sebagai organisasi politik dan karna itu tidak berorientasi pada politik. Perjuangan hmi adalah perjuangan kebenaran, atau nilai nilai kemanusiaan, dengan demikian hmi dapat disebut sebagai kekuatan moral dan pantulan suara Nurani masyarakat melalui spirit keislaman dan keindonesiaan.
Fakta yang tidak terbantahkan selain itu yang menegaskan bahwa hmi bukan antek antek kekuasaan, bukan kolega partai politik manapun bahkan ormas manapun serta kepentingan apapun selain rakyat dan kebenaran adalah Yahya zaini (Ketua Umum PB HMI 92-95) dalam sambutanya pada pembukaan kongres ke-20 hmi di istana negara Jakarta 21 januari 1995 menyampaikan sambutan yang berjudul HMI dan Protes Penindasan kekuasaan.
Taufik Hidayat (Ketua Umum HMI 95-97) dalam sambutanya pada dies natalis hmi ke 50 menegaskan dan menjawab kritik kritik yang memandang hmi terlalu dekat dengan kekuasaan. Anas urbaningrum pada peringatan dies natalis hmi ke-51 di graha insan cita Depok 22 febuari 1998 dengan judul “Urgensi Reformasi bagi Pembangunan bangsa yang bermartabat” dan pada dies natalies ke-52 di auditorium Sapta Pesona Jakarta sambutan ketua umum PB HMI berjudul “dari hmi untuk kebersamaan bangsa menuju Indonesia baru” lalu pada dies natalis hmi ke-53 melalui sambutan M. Fakhruddin (ketua umum PB HMI 99-02) berjudul “Merajut Kekuasaan Oposisi Membangun Demokrasi Membangun Peradaban Baru Indonesia”
Jika dihayati secara seksama dari dulu hmi tidak pernah bercengkrama dengan kekuasaan dan partai politik manapun dengan alasan apapun, namun mengapa hari ini kita begitu mudah menggadaikan independensi lalu menggadaikan harga diri hmi di depan kekuasaan dan kepentingan. Mengapa semua hal tersebut menjadi sesuatu yang normal di mata kader-kader Himpunan Mahasiswa Islam.
Beberapa bulan lagi Himpunan Mahasiswa Islam akan berusia 78 tahun, Sebagai organisasi kemahasiswaan Islam tertua dan terbesar di Indonesia, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) tidak mungkin untuk diisolasi dari tanggungjawab sosio-intelektual untuk memajukan kehidupan kebangsaan dan keummatan di Indonesia. Kebesaran HMI sama dan sebangun dengan besarnya tanggungjawab sosio-intelektual yang harus dipikul oleh HMI. Oleh karena itu, keadaan kebangsaan dan keumatan saat ini yang masih dililit oleh berbagai problem multidimensional selalu memunculkan pertanyaan dan sikap outokritik dari internal warga HMI maupun kritik dari masyarakat pada umumnya: “Berbuat apa saja HMI saat ini ?”.
Tulisan singkat ini hendak mengajukan: Pertama, perspektif untuk mengenali grand narasi sebagai hasil kontestasi narasi yang tumbuh di tubuh dan aktivitas HMI di tengah perjalanan panjangnya sebagai organisasi kemahasiswaan Islam Indonesia. Perspektif ini penting untuk memahami sekaligus merefleksikan keadaan kekiniaan yang dialami oleh HMI terutama dalam konteks usia bilogisnya yang saat ini telah berusia 74 Tahun pada 5 Februari 2021. Kedua, tawaran tentang posisi sosial-politik yang mesti diperankan oleh HMI yang senafas dengan nilai-nilai yang dianut dalam doktrin perjuangan (NDP) HMI maupun mission secre yang secara normatif tertulis dalam konstitusi HMI.
a. Grand Narasi: Kontestasi Narasi Di HMI
Narasi berkaitan dengan nilai dan pemikiran yang tampil membentang pada setiap lintas zaman dan generasi dalam suatu komunitas berfikir (Bandingkan Lyotard:1984). Di dalam komunitas berfikir itu, terdapat berbagai macam narasi yang saling berkontestasi. Produk dari kontestasi narasi itu memunculkan tampilnya grand narasi sebagai narasi dominan. Grand narasi inilah yang umumnya memberi kode atau tanda bagi periode zaman dan generasi itu.
Dalam kontestasi narasi ini, setidaknya dapat dikenali tiga grand narasi di HMI (Bandingkan dan lihat Arif Musthopa, 2007). Pertama, grand narasi heroisme. Ha Ini ditandai dengan keseluruhan gerak HMI yang diabdikan ke dalam perjuangan untuk mempertahankan eksistensi negara sekaligus eksistensi HMI dari segala hal yang berupaya menggugat dan menghancurkannya. Pada masa ini, HMI dihadapkan pada upaya pendudukan kembali penjajah Belanda, perpecahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan penyebaran faham komunisme oleh Partai Komunis Indonesia.
Kedua, grand narasi intelektualisme. Hal ini dihasrati oleh gairah mewujudkan kontribusi HMI, beritjihad, atas kemandekan berpikir dalam tradisi Islam di Indonesia. Grand narasi ini mulai muncul tahun 1960-an akhir hingga tahun 1980-an dan memunculkan gelombang pembaruan pemikiran Islam yang sangat menonjol dengan ikon utamanya Nurcholish Madjid (alm).
Ketiga, grand narasi politisme. Yakni dominasi logika kekuasaan dan mainstream berpikir politis dalam tubuh dan aktivis HMI. Grand narasi ini diawali dengan pemaksaan asas tunggal oleh penguasa Orde Baru pada tahun 1980-an awal. Logika kekuasaan tersebut membekas sangat kuat, karena “memaksa” HMI untuk lebih erat dengan kekuasaan negara. Akibatnya, HMI larut dalam logika kekuasaan tersebut dan menghantarkan HMI pada situasi stagnasi yang oleh Arip Musthopa (2007) disebut sebagai ‘gelombang beku’ (freezed) yang terjadi di akhir tahun 1990-an hingga saat ini.
Oleh Musthopa, gelombang beku ditandai dengan tampilnya generasi aktivis HMI yang memitoskan generasi sebelumnya, berlindung dan menuai keberkatan dari kebesaran generasi sebelumnya. Maka jangan heran bila saat ini banyak kader yang cenderung berpikir pragmatis, minim inisiatif, dan miskin kreatifitas. Dengan demikian menjadi wajar apabila generasi ini juga mudah larut dalam agenda politik pihak eksternal dan berkonflik di internal ketimbang menjunjung tinggi persatuan dan program membangun HMI. Gelombang beku merupakan titik nadir dari produk grand narasi politisme.
b. Problem Orientasi Independensi
Jika dievaluasi, dalam suasana kebebasan sosial-politik pasca rezim otoritarian orde baru saat ini, HMI belum mampu keluar dari kerangkeng gelombang beku yang diproduksi oleh grand narasi politisme. Kenyataannya sebagai organisasi dengan jaringan struktural yang besar, membeku bersama kebesarannya. Secara internal, kebekuan ini terlihat pada munculnya sindrom dualisme dalam kepemimpinan organisasi HMI akibat sibuk berkelahi internal untuk memuaskan ambisi struktural kelompok-kelompok yang saling berkelahi. Berbagai jenis pengkaderan formal dan non formal yang dilakukan tidak memiliki outcome untuk membangun tradisi kolektif kolegial dalam pikiran struktural HMI.
Pengkaderan gagal membangun tradisi mazhab intelektual HMI seperti yang secara gemilang pernah dimunculkan oleh grand narasi intelektualisme. Justeru, pengkaderan kerap didistorsi menjadi mesin untuk memproduksi anggota baru yang tumbuh menjadi gerbong-gerbong kelompok yang getol menciptakan friksi dan saling berkelahi untuk memperebutkan mitos-mitos kebesaran HMI, yang ujungnya dapat ditebak berharap mendapatkan rente kebesaran HMI.
Secara eksternal, akibat membekunya iklim intelektual dalam tubuh dan aktivis HMI maka kapasitas HMI dalam melakukan respon akademik terhadap problem kebangsaan dan keumatan menjadi sangat terbatas. Hal umum yang bisa dilakukan hanyalah merayakan peristiwa-peristiwa ritual kebangsaan dan keagamaan tanpa mampu merumuskan, meresolusikan dan mengadvokasi resolusi-resolusi dari setiap peristiwa yang dirayakan.
Terlebih lagi, akibat kebekuan intelektual ini HMI gagap dalam melakukan respon akademik dalam melahirkan dan memimpin momen-momen perubahan. Justeru yang kerap terlihat, secara sembunyi-sembunyi ataupun terang-terangan HMI (aktivis HMI) menjadi pemandu sorak politik untuk menyokong kepentingan politik praktis elit. Bahkan, adakalanya para elit HMI menjadikan keterlibatannya sebagai partisan politik (terutama sebagai ring satu elit politik) sebagai prestasi yang prestisius dalam karir ber-HMI.
Situasi seperti inilah yang menandai terjadinya krisis orientasi yang berkepanjangan dalam tubuh dan aktivis HMI. Jika di era orde baru kita mengenal istilah “floating mass”, maka di era pascaorde baru saat ini HMI dan sebagian besar kader-kadernya masih terjebak dalam situasi “floating activism”, yakni aktivis mengambang yang tidak memiliki kejelasan orientasi dalam pergerakan dan perjuangan.
c. Krisis Orientasi Dan Jerat Pragmatisme
Krisis orientasi yang berkepanjangan akibat kerangkeng gelombang beku yang diproduksi oleh grand narasi politisme dalam tubuh dan aktivis HMI sudah saatnya dihentikan. HMI dan aktivis-aktivisnya harus kembali pada khittah keberadaannya sesuai dengan mission secre yang dikonstruksi oleh Nilai Dasar Perjuangan (NDP) maupun tujuan mulia “terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam, dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil, makmur yang diridhoi Allah SWT”.
Di tengah suasana kebebasan sosial-politik saat ini, dengan modal sistem pengkaderan berbasis NDP yang mapan, dukungan jaringan struktural organisasi yang berjejaring dari pusat sampai ke daerah, serta jumlah keanggotaan yang besar dan produksi kader terus-menerus, mestinya HMI mampu tampil sebagai kekuatan sosial yang terkonsolidir. Adapun jenis kekuatan sosial yang cocok dengan sumberdaya dan profil yang dimiliki oleh HMI adalah sebagai kekuatan kelas menengah profetik
Kelas menengah yang dimaksud adalah lapisan masyarakat yang berada diantara lapisan masyarakat jelata dan lapisan pemilik kapital (ekonomi/politik). HMI merupakan kelas menengah intelektual karena dihuni oleh mahasiswa Islam sebagai insan akademis. Lebih jauh, karakter kekuatan kelas menengah HMI harus memiliki kekhasan yakni profetisme. Artinya, HMI merupakan kelas menengah intelektual Islam yang mengusung misi profetik, sehingga gerakan kelas menengah yang diperankan oleh HMI adalah gerakan kelas menengah profetik.
Gerakan kelas menengah profetik HMI dapat dirujuk pijakannya pada Q.S. Ali Imran: 110 “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah”. Dalam pandangan Kuntowijoyo (2006), kandungan Q.S. Ali Imran: 110 ini dapat diobjektivikasi dalam tiga aspek penting yang tidak terpisahkan, yakni Pertama, humanisasi (amar ma’ruf), melalui gerakan sosial edukatif yang menekankan pada gerakan penyadaran sosial-politik dan penyebaran gagasan-gagasan demokrasi, hak-hak asasi, anti korupsi dan sebagainya. Humanisasi bertujuan untuk memanusiakan manusia.
Kedua, liberasi (nahi munkar), melalui gerakan sosial korektif baik melalui kajian-kajian akademik yang dipublikasikan sebagai counter hegemony, advokasi kebijakan, sampai dengan aksi pressure group melawan rezim pusat atau lokal yang menindas. Liberasi bertujuan untuk membebaskan masyarakat dari kekejaman kemiskinan struktural, ataupun pemerasan terhadap alam dan kehidupan sosial.
Ketiga, transendensi (tu’minuna billah), yang bertujuan untuk memberi makna dan mutu aksiologis pada gerakan bahwa ikhtiar dan tujuan gerakan sosial yang dilakukan merupakan wujud dari persaksian akan nilai-nilai transendensi-Ketuhanan.
Akhinya pada penghujung tulisan ini saya dan kita semua berharap semoga kader kader Himpunan Mahasiswa Islam kembali pada Khittah Perjuangan nya, menjaga independensi nya serta menjaga dan merawat nilai-nilai dasar perjuangan serta ke-HMI-an.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar