Tulisan ini lahir dari diskusi kecil yg berlangsung oleh beberapa orang saja, di saat kami ingin mencoba meresolusi sebuah gerakan besar dalam dedikasi untuk beberapa aspek terutama pendidikan, Literasi, Ekonomi, dan transformasi tatanan sosial ke arah masyarakat yg berfikir.
Sebuah grand design gerakan sosial memang bersandar pada keikhlasan serta kontemplasi pada tentang hakikat keberadaan kita sebagai orang yg berfikir dan terdidik apalagi diasuh dan diasuh dalam organisasi. Semoga bisa bermanfaat dan bisa mencerahkan.
“Sekumpulan teori hanya akan menghasilkan teori lainnya,” begitu lebih kurangnya ucap Seno Gumira Ajidarma dalam sebuah acara webinar mengenai kritik sastra beberapa tahun lalu. Aku pun mengamini yang dikatakan SGA ketika itu. Teori, alih-alih mampu diterapkan di lapangan, terkadang hanya menjadi sebatas kritik tanpa ada sesuatu untuk ditawarkan.
Selanjutnya, hal serupa diamini oleh Mohammad Rafi Azzamy dalam tulisannya yang berjudul, “Kita Butuh Gerakan Sosial yang Lebih Mutakhir”. Menurutnya akan lebih masuk akal jika sebuah gerakan sosial tidak hanya sebatas kritik, tetapi juga menawarkan sebuah solusi jitu terhadap permasalahan yang dikritiknya–sebuah gerakan sosial yang lebih pragmatis, mungkin.
Tidak hanya kritik teori sastra yang semakin berkembang secara luas, lebih maju, serta inovatif. Dalam pendidikan, berbagai teori dan inovasi paling mutakhir juga terus dikembangkan seiring berjalannya arus zaman. Akan tetapi, permasalahannya adalah terkadang teori yang dikembangkan tersebut terlampau mutakhir untuk digunakan di lapangan.
SDM dan Lapangan yang Kurang Mutakhir
Komponen penggerak dalam pendidikan salah satunya adalah guru atau pendidik. Tugasnya, jika mengutip Oemar Hamalik, yaitu menyelenggarakan pembelajaran, melatih, meneliti, mengembangkan, mengelola, serta memberikan pelayan teknis lainnya dalam bidang pendidikan. Pendidik harus memenuhi kualifikasi di bidang pendidikan yang sesuai dengan standar kompetensinya–pedagogis, kepribadian, sosial, dan profesional. d ilanggengkan, sejatinya pendidikan kita layaknya zombie, ia tak hidup, pun tak mati; ia bergerak tetapi tak bebas.
Hari hari ini pula kita dipertontonkan bagaimana setiap pendidikan memang tidak semua nya namun hampir semua nya kemudian menunggangi pemikiran pemikiran para siswa dan siswi lalu memenjarakanya dengan ayunan ayunan prestasi dan mendesak nya tanpa kompetisi dan kompetensi yg sehat.
Seperti yang dijelaskan oleh Philip Wexler dalam Education in a Changing Society. Negara menggunakan sekolah untuk menyebarkan propagandanya, agar manusia-manusia di dalam sekolah dapat menjadi warga yang paham dan diam akan aturan-aturan yang ada, dan prestasi di sini adalah alat yang sangat efektif untuk melakukannya.
Pengajaran-pengajaran di sekolah sangat erat dengan apa yang disebut sebagai “monopoli penalaran”, yakni semacam pengendalian pola pikir murid oleh sekolah, sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Robert Dreeben dalam On What Is Learned in School, bahwa sekolah melakukan pengajaran hal-hal yang sesuai dengan kepentingan yang ada (negara maupun budaya). Dengan menciptakan kebakuan-kebakuan dalam pembelajaran terkait norma maupun pengetahuan, sekolah telah memonopoli penalaran. Monopoli penalaran ini didukung oleh ‘fantasi prestasi’ dalam perlombaan.
Mendesak Satuan Pendidikan yang Lebih Mutakhir
Selain sumber daya manusia yang harus dimutakhirkan, satuan pendidikan pun harus dimutakhirkan pula sebagai salah satu tempat terlaksananya proses pendidikan. Jika satuan pendidikan–dalam hal ini sekolah–tidak mendukung pelaksanaan pembelajaran atau pun pengembangan-pengembangan lainnya, cita-cita kemajuan pendidikan Indonesia Emas 2045 hanya menjadi ilusi.
Seperti yang kita ketahui, kesenjangan pendidikan di negeri ini merupakan hal yang tidak pernah terselesaikan. Sebagai contoh paling sederhana, sarana serta prasarana sekolah di perkotaan dengan di pedesaan sudah sangat berbeda jauh; entah apa pun alasannya. Ini ironi yang tak bisa ditutupi. Di satu sisi, kita menginginkan pendidikan yang lebih maju, akan tetapi di lain sisi pemerintah kita enggan memajukan lapangan pendidikan itu sendiri, padahal hal tersebut sesuai dengan amanat pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pemerintah kita terlalu banyak melakukan pencitraan dibanding bergerak secara konkret di lapangan. Bukan rahasia lagi jika berbagai seremonial dilakukan demi citra pendidikan yang lebih segar kulitnya, sedangkan daging buahnya hanya sedikit yang peduli.
Sebetulnya, teori pendidikan kita sudah terlampau mutakhir dengan banyaknya inovasi yang ditawarkan, seperti model pembelajaran yang lebih modern, metode yang lebih mampu membelajarkan peserta didik, pendekatan-pendekatan yang lebih relevan dengan zaman, entah itu filsafat, psikologi, dll, serta media pembelajaran yang sudah lebih canggih.
Akan tetapi, gemerlapnya inovasi pendidikan tersebut tidak didukung dengan sumber daya. Lapangan pendidikan yang lebih mutakhir hanya seperti gemerlap bintang di siang hari. Kemalasan berpikir maupun pemikiran tua dan usang yang ditunjukkan oleh para pendidik atau calon pendidik sudah bukan lagi hal yang patut dinormalisasi, sudah saatnya kebermanfaatan, kebebasan, kemerdekaan, serta kemutakhiran pendidikan di negeri ini didapatkan dan diperjuangkan.
Kemajuan teknologi yang kian melesat cepat tanpa di timang-timang oleh setiap kita dengan kritis dan persiapan diri maka kita lah yang akan menjadi korban dari keganasan teknologi tersebut bahkan menjadi budak dari teknologi itu sendiri, ia akan menggilas dengan gila.
Apabila narasi kemajuan tak disikapi secara kritis, ia akan menjadi malapetaka bagi manusia. Sebut saja kemajuan teknologi yang ditengarai mampu mengubah nasib hidup manusia. Alih-alih mempermudah hidup, teknologi justru menghadirkan permasalahan yang kian mengikis kemanusiaan, salah satunya memudarnya rasa empati terhadap sekitar karena kita dibuat sibuk dengan gadget masing-masing. Kesibukan kita teralihkan dan eksistensi kemanusiaan terancam. Acap kali persoalan di atas luput dalam pandangan dan praksis kita sehari-hari. Miris bukan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar