Beberapa waktu lalu tepatnya pada 5 februari 2023 seluruh cabang dan segenap kader serta alumni HMI merayakan dies natalis HMI yg ke-76 tahun dengan beragam ekspresi pengungkapan dan perayaan. 76 tahun bukanlah angka yang terbilang belia atau masih muda tentunya usia tersebut sudah menggenapi kata uzur, HMI mustahil dapat menunaikan tugasnya sebagaimana diamanahkan konstitusi dan para founding father kita. Sebab HMI hari ini telah terjangkiti kepikunan yang akut, serupa para tetua yang sering kali lupa, apakah sudah makan atau tidak. Akibatnya, tugas dan tanggung jawabnya terabaikan.
HMI terlalu asyik dengan kenikmatan-kenikmatan sesaat yang menyilaukan matanya, sehingga buta bahwa tugasnya adalah berjuang bersama kaum mustad’afin dan kelompok tertindas melawan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan penguasa dan para kelompok penindas.
Sedikit kita melihat (untuk tidak dikatakan tidak ada) HMI melakukan pembelaan dan pendampingan terhadap masyarakat yang menjadi korban kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat. Bikin proposal permohonan dana dan menjadi budak kekuasaan ternyata lebih menggoda dan tentu mengasyikan dari pada berteriak di jalanan menuntut keadilan para penguasa yang dzalim.
Padahal selama puluhan tahun, HMI tidak pernah absen membela hak-hak rakyat yang dirampas oleh kesewenang-wenagan dalam berbagai macam bentuknya. Ia konsisten bersama rakyat, mendengarkan keluh kesahnya dan menangkap setiap aspiranya yang setiap saat harus diteriakkan ke setiap telinga para penguasa. Sehingga tidak berlebihan ketika Jenderal Sudirman menyebut HMI bukan sekedar Himpunan Mahasiswa Islam, melainkan harapan masyarakat indonesia.
Namun sejalan dengan usia yang kian renta layaknya seorang yang senja berjalan tertatih-tatih, dengan pandangan yang kian menghilang, serta pendengaran yg sudah tidak jelas, ia hanya bisa terbaring di tempat tidur dan mengharap iba pada banyak orang, Potret buram HMI masa kini tidak terlepas dari beberapa faktor. Di antaranya, pudarnya tradisi intelektual di tubuh HMI. Di mana, intelektualitas adalah ciri khas utama bagi HMI. HMI dan intelektualitas adalah dua entitas tak terpisahkan, serupa dua mata uang. Di mana ada intelektual, di situlah ada HMI, dan begitu juga sebaliknya, di mana ada HMI, di situlah ada intelektualitas.
Tradisi ini bukan sekedar redup tetapi raib di era HMI kontemporer, para aktivis HMI lebih terlihat bersemangat memperjuangkan pendekatan struktural ketimbang tersihir oleh tradisi intelektual, wacana lobi-lobi dan silaturrahmi (ungkapan penghalus untuk istilah) menggeser forum diskusi diskusi. malah, kalaupun menghadiri sebuah forum ilmiah, ia hadir bukan untuk alasan intelektual tetapi karena lainnya; semisal agar dapat disejajarkan maupun diberi predikat cendekia karena punya hubungan dengan cendekia, meski tak pernah, sehingga lebih berbau politisi sifatnya.
Memudarnya tradisi intelektual ini disebabkan rutinitas membaca, berdiskusi, dan menulis lenyap di tubuh HMI. Nyaris tanpa jejak. Padahal membaca, berdiskusi dan menulis adalah ritual yang bersifat fardhu ain bagi HMI. Jadi tidak perlu heran, jika HMI, dulu konsisten melahirkan banyak tokoh terkemuka dan akademisi yang intelektual semacam Cak Nur dan Akbar Tandjung, karena mereka dekat dengan buku, rajin berdiskusi, dan inten menulis.
Tradisi intelektual ini lah sebenarnya yang menjadi pembeda antara HMI dengan organisasi-organisasi yang lain. Baik yang hadir mendahuluinya, maupun yang datang kemudian. HMI benar-benar berada dalam kemiskinan intelektual.
Kemudian faktor selanjutnya adalah krisis pemikiran. Krisis pemikiran atau kejumudan berpikir (meminjam istilah Muhammad Abduh) tengah menggerogoti tubuh HMI yang sudah tua bangka ini, diakui atau pun tidak. Krisis pemikiran ini disebabkan HMI suka beruforia dengan kejayaan masa lalunya. Suka berpesta ria dengan masa keemasannya. HMI serasa dinina bobokkan oleh euforia dan pesta pora tersebut.
HMI terlalu percaya diri (over confidence) akan keyajaan masa lalunya yang terus diagung-agungkan. Padahal kejayaan itu hanya ada atas kertas, di buku-buku sejarah HMI, juga di dokumentasi-dokumentasi HMI. Tidak lebih.
Dan tidak berlebihan memang betapa HMI pernah menggoreskan tradisi intelektual yang sangat signifikan, dalam khazanah pemikiran keislaman, ya pernah. Karena pada beberapa dasawarsa terakhir ini, tradisi itu tampaknya semakin meredup. Dan kini rasanya sulit untuk mencari indikator baru bagi HMI secara intelektual.
Tidak salah jika Buya Syafi'i Ma'arif berpendapat bahwa tradisi intelektual HMI kini telah menempati buritan sejarah. Para aktivis HMI kini sudah tidak lagi tertarik dengan suasana intelektual exercise dalam forum-forum diskusi.
Bahkan tampaknya, yang lebih banyak dicerna dalam kaderisasi formalnya pun bukan lagi kajian dasar dan filosofi dari suatu disiplin ilmu, tapi lebih banyak penyajian teknik-teknik strategis yang berorientasi struktural, betapapun gagal atau berhasil tampilnya kader-kader HMI sebagai kandidat ketua umum ormawa internal kampus maupun ketua umum OKP lainnya menjadi salah satu indikator perubahan orientasi HMI dari intelektual ke struktural.
Sebagai kader HMI saya tidak tahu persis apakah pergeseran orientasi ini merupakan bagian dari grand strategy yang telah dirancang misalnya sebagai tindak lanjut dari penguatan (strengthening) struktural ke dalam maka perlu adanya aktualisasi keluar dengan mengisi pos-pos yang ada dalam struktur kekuasaan, atau sekedar kompensasi akibat kegagalannya melakukan pemberdayaan (empowering) institusi ke dalam karena serbuan tuntutan realitas yang tidak terbendung? entahlah.
Pada Februari tahun 2019 Abdul Gaffar menulis di kolom detik.com bahwa bukti pergeseran perjuangan paradigma kader HMI ke arah politik sebagai basis dan orientasi utama. sangat tepat jika ada orang mengatakan posisi HMI tidak ubahnya sebagai batu loncatan untuk meraih kekuasaan semata itu "to organize of power.
Problem itu menyebabkan HMI mengalami proses stagnasi berpikir kritis progresif yang menyebabkan kekuatan moral force berupa independensi semakin terabaikan begitu saja berubah menjadi political force.
Untuk HMI saya memang belum bisa berkontribusi apa-apa siapalah saya saya hanya seorang anggota biasa yang selalu gelisah atau meratapi tetapi kemunduran HMI belum bisa memberikan terobosan-terobosan baru untuk mengembalikan kejayaan HMI tentu saya sadar akan hal itu dan lebih baik saya sampaikan di awal terkait hal ini.
Tetapi saya mencoba sadar apa yang menimpa HMI akhir-akhir ini adalah konsekuensi dari pertarungan wacana berorganisasi para kader, perlu diketahui di internal HMI, dari PB HMI sampai komisaris terjadi persaingan tersembunyi antara anggota yang senantiasa menggeluti wacana intelektual akademis dengan mereka yang rajin mengusung semangat politik struktur.
Jika saya boleh berpendapat, seandainya kedua entitas ini bersatu, saling mengisi satu sama lain, dan saling membantu untuk mewujudkan tujuan organisasi. sebagaimana hasil kongres malang yakni: terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi, yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT. pastilah HMI akan tetap menjadi organisasi elit di kalangan mahasiswa atau bahkan di mata masyarakat Indonesia.
Namun alih-alih bersatu dan saling membantu, yang terjadi malah semakin dominannya kelompok politik struktural yang selalu membicarakan dan melihat struktur atau jabatan di HMI menjadi segala-galanya. sehinggalah ia diperebutkan dengan berbagai cara. Sebaliknya mereka sama sekali tidak melihat kualitas dan kapabilitas dirinya dalam mewujudkan amanah organisasi.
Gejala ini bagi saya sangat memprihatinkan. dari PB HMI, Cabang, hingga ke Komisariat sangat terlihat nuansa politiknya (tentu tidak semua cabang dan komisariat demikian). akibatnya dalam setiap kongres dan konferensi pergantian kepengurusan hanya berdasarkan "kontribusi politik" kelompok tanpa mempedulikan apalagi memberi tempat bagi mereka yang sesungguhnya berkualitas hanya lantaran tidak mempunyai sumbangan apapun di arena kongres bagi ketua umum terpilih.
Dan yang terjadi HMI hanya menjadi tempat "parkir" bagi mereka yang memiliki kepentingan politik struktural yang kemudian menggantungkan masa depannya dari organisasi, tidak sampai di sini sikap dan gerakan organisasi pun menjadi sangat pragmatis dan instan, karena suasana HMI sekarang memang sangat mendukung kadernya untuk menjadi oportunis dan menghalalkan segala cara demi kepentingan pribadi atau kelompok.
Kader politis struktural ini biasanya juga memiliki kebiasaan "menjual" organisasi dengan membangun bargaining di hadapan birokrat tokoh politik maupun orang-orang istana ini menjadikan suara kritis dan sikap korektif HMI tenggelam dalam pusaran isu dan rumor politik yang amat tinggi di tubuh HMI.
Kuatnya wacana politis struktural di HMI mengakibatkan terpinggirnya secara perlahan mereka yang mengedepankan gerakan intelektual akademis. karena itu banyak sekali kader yang lari meninggalkan HMI dan rajin membangun wacana melalui studi maupun lembaga yang mereka anggap bisa menjadi wadah untuk mengembangkan pemikiran dan potensi yang mereka miliki, banyak dari mereka yang lebih memilih untuk aktif dikomunitas-komunitas, kelompok-kelompok diskusi, atau bahkan masuk organisasi lain.
Hari ini sangat berdampak bagi kualitas gagasan yang dilontarkan HMI atau minimnya suara kritis ketika membaca realitas sosial yang sedang terjadi terhadap permasalahan umat dan bangsa misalnya HMI terkadang malah ikut arus dalam hal ini saya malah teringat kata-kata cak nur tentang pembubaran HMI beberapa tahun lalu.
Dominannya kelompok politis struktural yang hampir menenggelamkan kelompok intelektual akademis di tubuh HMI menjadikan suasana organisasi tidak sehat banyaknya isu dan rumor politik yang beredar di kepengurusan cabang mempengaruhi kader-kader di tingkat komisariat.
Sampai di sini perlu diingatkan kembali siapapun yang ingin masuk HMI dengan harapan ingin mendalami ajaran agama Islam atau mengasah intelektualitasnya pada akhirnya harus memperoleh kekecewaan yang amat sangat karena memang tidak akan pernah menemukannya di HMI.
Akhirnya, HMI memang harus segera melakukan reorientasi arah pergerakan (atau bahkan kembali ke khittah 1945 mempertahankan NKRI dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia serta menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam). Dan pembaruan sistem perkaderan yang kontekstual. tidak hanya itu dalam pergantian kepengurusan hal ini juga harus memberikan kesempatan kepada mereka yang memiliki intelektualitas juga kejernihan berpikir meski tidak memiliki kontribusi politik dalam memenangkan kandidat calon ketua umum.
HMI juga harus segera melakukan manuver untuk mengembalikan keberadaan dan peran kader di berbagai perguruan tinggi dan masyarakat dan satu upaya untuk menjalankan misi keislamannya tidak lain hal ini harus kembali ke masjid kampus menjadikan masjid kampus sebagai basis pergerakan yang dinamis modern dan mampu mendonorkan mahasiswa berkualitas secara keilmuan maupun keislamannya karena menurut saya sebagai kader HMI seharusnya tidak hanya mengenal bangsanya saja tapi wajib mengenal agama nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar