Rabu, 22 Januari 2025

Leiden is Lijden: Minggat Adalah Jalan Perjuangan

Saya menyukai film yang bertemakan atau berlatar peperangan. Salah satu judul film peperangan yang saya tonton lebih dari tiga kali berjudul: The 12th Man. Film buatan Norwegia ini mengisahkan salah satu kisah pejuang negara itu semasa perang dunia kedua. Pejuang itu bernama Jan Baalsrud.

Dikisahkan dalam film ini, Jan adalah seorang dari 12 orang pejuang Norwegia, yang ditugaskan pemerintah negaranya untuk melakukan sebuah misi. Misinya adalah menyabotase sebuah pos kapal perang Nazi Jerman. Naas, misi yang harusnya bersifat rahasia malah ketahuan oleh pihak Nazi Jerman. Kesebelas pejuang tertangkap dan berujung pada hukuman mati. Hanya Jan yang menjadi satu-satunya yang selamat.

Sendirian, misi yang gagal dan tidak akan mungkin untuk dituntaskan, dan sekarang menjadi buronan tentara Nazi seNorwegia, benar-benar membuat Jan berada dalam tekanan yang tidak bisa dibayangkan. Tentu hasutan untuk mengakhiri hidup ada dipikirannya, bahkan ia nyaris melakukannya. Tapi ia sadar kematiannya lah yang diinginkan pihak Nazi. Ia tak ingin pihak Nazi yang menang, ia ingin Norwegialah yang menang. Hidupnya adalah simbolik dari api perjuangan Norwegia yang masih menyala. Dan setelah semua yang terjadi, dalam benaknya kini hanya ada pikiran: ia harus kabur dengan selamat keluar dari Norwegia, jangan sampai Nazi Jerman berhasil menangkapnya.

Kisah Jan andai disamakan dengan pejuang Indonesia, agaknya nama Tan Malaka akan muncul untuk dikaitkan. Kisah petualangan Tan yang berkeliling di berbagai negara, yang selalu kabur dari polisi imperial internasional dan akhirnya dapat kembali ke Indonesia, barangkali mirip dengan kisah seorang Jan Baalsrud.

Tapi terdapat satu nama lagi yang mungkin jarang didengar. Seorang pejuang yang jalan perjuangannya sama seperti Jan juga Tan, dengan lari dan kabur. Seorang tokoh pergerakan pada masa periode 1920an, saat Hindia penuh dengan gerakan radikal menentang pemerintah kolonial. Pejuang itu bernama Thomas Najoan.

Thomas Najoan di Tanah Pembuangan

“Thomas Najoan adalah tokoh unik yang kurang dikenal meski ia sebenarnya juga orang penting pada masa-masa pergerakan nasional,” tulis sejarawan Petrik Matanasi dalam buku tipis yang memang ditujukan untuk Thomas Najoan berjudul: Thomas Najoan Si Raja Pelarian Dalam Pembuangan. Tak diragukan, Najoan memang tokoh penting pada pergerakan nasional awal. Hal ini dapat dilacak dengan mencari tahu nama tempat yang Najoan tempati selama dibuang di Boven Digul. Tempat itu bernama Tanah Tinggi.

Di Boven Digoel, tempat pembuangan buatan kolonial Belanda, terdapat dua tempat yang ditujukan kepada mereka para penentang pemerintahan kolonial saat itu. Kedua tempat itu bernama Tanah Merah dan Tanah Tinggi. Tanah Tinggi adalah nama tempat yang dikhususkan untuk orang-rang buangan khusus. Di sana lah para pemimpin pergerakan, propagandis, dan orang-orang yang merupakan ancaman serius pemerintah kolonial bertempat. Mereka yang menempati Tanah Tinggi adalah golongan, yang pemerintah kolonial menyebutnya, de naturalisten. 

Takashi Shiraishi dalam bukunya Dunia Hantu Digul menjelaskan bahwa golongan de naturalisten adalah mereka yang menolak melakukan pekerjaan apa pun pada pemerintah kolonial. Mereka adalah orang yang memegang teguh “prinsip” mereka. Pemerintah kolonial menganggap mereka adalah orang-orang yang sangat radikal. Akibatnya tindak-tanduk mereka di Digul selalu diawasi, jatah pangan yang berbeda dengan jatah makan orang buangan di Tanah Merah, sampai tidak memiliki kesempatan untuk pulang ke keampung halaman.

Keteguhan penghuni Tanah Tinggi untuk menolak pekerjaan selama masa pembuangan adalah bentuk perlawanan, dan Thomas Najoan adalah salah satunya. Soe Hok Gie pernah menulis dalam bukunya yang menjelaskan ketidak kompromian Najoan dan kawan-kawannya.

Gie menulis, “Betapa kerasnya watak Mas Marco, Boedisotjitro, Winanta dan Najoan yang menolak utusan Gubernur Jendral menemui mereka. Padahal pertemuan dengan utusan itu mungkin akan membebaskan mereka dari neraka digoel.”

Di mata orang buangan yang berada di Tanah Merah, melihat orang buangan yang berasal dari Tanah Tinggi adalah antara benci dan kagum. Mereka barangkali membayangkan bahwa orang-orang Tanah Tinggi adalah orang yang tidak mengenakkan. Tapi Najoan adalah figur yang berbeda. Meski termasuk orang-orang yang berpunggung keras utuk tunduk pada pemerintahan kolonial, tetapi secara pribadi, dia adalah orang yang menarik. Najoan adalah orang yang riang, optimis, humoris, dan suka tertawa.

Deskripsi bagaimana sosok Thomas Najohan dapat ditemukan dalam catatan Sutan Syahrir. Tokoh nasional yang berjuluk bung kecil ini menuliskan bagaimana Najohan di matanya. Dia pun punya panggilan tersendiri untuh Najoan.

“Seorang manusia yang baik, berbudi luhur dan berpendidikan. Rasa humanitasnya yang besar berasal dari etika agama Kristen; ia seorang Manado dan beragama Kristen. Selain itu, ia salah seorang sosialis Indonesia yang pertama-tama, mulai dari zaman Sneevliet dan Baars,” tulis Syahrir.

Rudolf Mrazek, seorang pakar sejarah modern Asia Tenggara, pernah mewawancarai seseorang yang semasa kecilnya adalah penghuni Digul. Seseorang itu mengatakan kepada Mrazek bahwa Najoan itu perawakannya tidak tinggi tetapi kekar. Jalannya gagah dan selalu berpakaian rapi dengan memakai topi serta membawa tongkat. Hal ini selaras dengan catatan Mas Marco, seorang rekan Thomas Najoan yang juga pernah menulis bahwa Najoan adalah orang yang kekar serta riang. Pribadinya yang positif membuat ia mudah bergaul. Juga ia memiliki senjata untuk musuh terkuat dan paling mematikan yang bersemayam di Boven Digul: rasa sepi.

Minggat adalah Jalan Perjuangan 

Tan Malaka pernah menuliskan perasaannya atau barangkali kegundahannya menjadi seorang pelarian dalam buku autobiografinya. Tan mengungkapkan bahwa orang Indonesia baru akan bersyukur akan hidupnya jika berada di lingkungan yang asing. Lingkungan yang asing dalam hal ini adalah luar negeri yang mana orang yang berbangsa beda, bahasa beda, dan sebagainya.

“Terutama kalau kita berada dalam kemiskinan di tengah-tengah hawa iklim, masyarakat, dan semuanya asing, sehingga banyak iman yang pecah, orang buangan kembali diam-diam, bunuh diri atau hidup seperti hewan (demoralisasi). Jarang yang bisa memegang prinsip semula teguh dan imannya,” tulis Tan.

Seperti uraian Tan, Thomas Najoan juga pernah mengalaminya. Meski lingkunngannya bukan sedang berada di luar negeri, serta merupakan seorang periang dan mudah bergaul, ia pernah merasakan pada titik frustasi dan putus asa. Hal itu pernah dia ungkapkan pada petugas pemrintahan yang sedang melakukan survei. Petugas itu kemudian mencatat, “Najoan yang terkenal tangguh menyatakan dengan sungguh-sungguh: “Disini hidup benar-benar sepi.” Petugas itu berasumsi bahwa kejiwaan Najoan tidak stabil bahkan mengira Najoan telah Gila. Ungkapan Najoan yang didapat dari petugas itu mendapat tafsiran lain dari sejarawan Petrik Matanasi. Petrik menjelaskan bahwa itu sebatas pernyataan yang umum dan bukan menunjukkan masalah kejiwaan. Menurutnya itu merupakan sikap bahwa perlawanan dari Najoan masih dilakukan: tetap bertahan di Tanah Tinggi yang situasi sepinya melebihi situasi sepi Tanah Merah. Puncak dari frustasi Najoan adalah percobaan bunuh diri yang dia lakukan. Untungnya dia selamat karena lekas dibawa ke rumah sakit.

Siksaan rasa sepi memang tidak main-main. Supaya terlepas dari siksaaan ini, penghuni Boven Digul, baik yang berada di Tanah Merah atau Tanah Tinggi menyibukkan diri. Thomas Najoan juga seperti mereka, tetapi mungkin mencari kesibukan dengan cara kabur dari Digul hanya dimiliki sedikit penghuni. Najoan paham betul ia tidak mungkin dipulangkan ke Manado, kampung halamannya. Pikiran untuk kabur inilah yang juga menjadi semangat Najoan untuk hidup dan menyelamatkannya dari arus kegilaan yang banyak didera oleh penghuni lain. Serta menjadi upaya perjuangannya.

“Siapa yang hendak lari Musti berani Mati. Siapa yang Cuma ingin hidup saja dengan selamat jangan coba melarikan diri.”

Kutipan ini berasal dari cerpen berjudul Pandu Anak Buangan karangan Abdoe’lXarim M.s. Cerpen ini dapat ditemukan dalam kumpulan cerpen Cerita dari Digul suntingan Pramoedya Ananta Toer. Pengarang tersebut, yang juga merupakan teman sekamp dengan Thomas Najoan di Boven Digul, terkait kutipannya kiranya sangat relevan bila ditujukan pada perjuangan Thomas Najoan untuk keluar dari Boven Digul.

Pada 1942 waktu tentara Jepang menginvasi Hindia Belanda, Najoan memutuskan untuk kabur yang ketiga kalinya. Ia kabur bersama dua kawan lain yaitu Mustajab dan Saleh Rais. Najoan dan Saleh Rais tidak pernah ditemukan, sedangkan Mustajab ditemukan dengan bagian organ dalam tubuh yang hilang, mengapung di Sungai Digoel. Rumor beredar rombongan tersebut diserang suku kanibal yang masih menghuni disana.

Meski Najoan hilang dan sampai sekarang keberadaannya belum jelas rimbanya, pelariannya membuktikan ia adalah figur yang menentang kolonial bagaimanapun caranya. Ia tidak tunduk pada pemerintah kolonial meski bujuk rayu, sanksi, dan sebagainya pernah diberikan padanya.

Sekalipun, ia musti hidup di Boven Digul yang merupakan neraka kesepian selama 11 tahun dan dua kali gagal dalam upayanya kabur. Yang paling jelas akhirnya Najoan adalah pemenangnya. Ia berhasil kabur dari Digul, walaupun menghilang. Tapi pengorbanannya ini menandakan dua hal: pertama, pemerintah kolonial Belanda tidak dapat menangkap dan membawa kembali Najoan; kedua, Thomas Najoan yang hidup selama 11 tahun di Boven Digul menunjukkan, meminjam kalimat Petrik Matanasi bahwa “senyuman dan sikap riang Thomas Najoan adalah kegagalan pemerintah kolonial dari tujuan menciptakan Boven Digul.

 

Jumat, 17 Januari 2025

Turbulensi pendidikan dan Eksploitasi Makna Guru: Guru Berusia Muda Berjiwa Tua

 


Tulisan ini lahir dari beberapa Fenomena dan diskusi kecil kecilan saya dengan salah seorang senior tentang hakikat guru dan tragedi pendidikan hari ini. Awal nya bertumpuk ucapan selamat dari seseorang terhadap seseorang atas capaian nya telah dinyatakan lolos CPNS, ada pula yg untaian harapan dan doa atas jerih payahnya sehingga sampai pada titik kelulusan P3K, ada pula yang menggerutu karna tidak lulus dalam tahapan tahapan nya, ajaib nya ada pula yg berkomentar bahwa "eh kemarin teman saya pakai uang untuk lolos tahapan itu, nominal nya .........(Di terka aja ya).

Salah satu problem pelik pendidikan kita hari ini adalah kondisi guru yang terlempar ke lembah rutinitas mengajar. Guru tak lagi memaknai proses mengajarnya sebagai gerakan perubahan, melainkan mengimani aktivitasnya sebagai pengulangan-pengulangan belaka. Guru semacam ini banyak dijumpai dan secara serentak menggiring pendidikan ke lembah gelap kehampaan. 

A. Konsep Keterlemparan dan Topi Pesulap

Martin Heidegger, mengungkapkan sebuah kenyataan ironis bahwa manusia merupakan makhluk yang terlempar ke alam semesta tanpa tahu asal-muasalnya. Pada mulanya, kenyataan manusia tanpa asal ini membuat gelisah. Manusia mulai bertanya-tanya asal usul entitas dirinya. Manusia mulai merenung dan berpikir. Kondisi manusia yang demikian oleh Heidegger disebut sebagai kondisi manusia autentik: sebuah kondisi manusia yang gelisah, merenung, dan berpikir tentang asal muasal keterlemparannya. 

Namun, seiring berjalannya waktu, manusia mulai berkumpul dan membentuk peradabannya sendiri. Manusia membangun budaya dan kesibukan, hingga lupa atas kegelisahan asal-muasal keterlemparannya. Pada akhirnya, manusia mulai terlena dan terjebak dalam lingkaran rutinitas kesibukannya sehari-hari. Kondisi manusia yang demikian disebut sebagai kondisi manusia inautentik: sebuah kondisi manusia yang tak lagi gelisah, tapi justru mulai terbiasa dengan kesibukan rutinitas sehari-harinya. Manusia hilang sentuhan renungan dan daya pikirnya dalam mendobrak misteri keterlemparannya ke alam semesta raya. 

Gambaran kondisi manusia autentik dan inautentik dari Martin Heidegger ini dianalogikan dalam narasi Topi Pesulap di buku Dunia Sophie. Di buku itu, manusia ibarat kutu yang tinggal tersembunyi dalam bulu kelinci yang dikeluarkan oleh pesulap dari topinya. Di satu sisi, kutu-kutu itu berusaha memanjat bulu kelinci untuk mengetahui asal-muasal dirinya dan identitas pesulap yang menghadirkannya. Sedangkan di sisi lain, kutu-kutu yang justru sibuk sendiri dan menerima begitu saja keadaan dirinya di dalam tubuh kelinci tanpa upaya memanjat untuk menemukan jawaban hakikat hidupnya. Kutu-kutu yang berusaha memanjat bulu-bulu kelinci menggambarkan seorang filsuf yang terus gelisah dalam mencari hakikat hidupnya. Hal ini serupa dengan konsep manusia autentik dari Heidegger. Sementara itu, kutu-kutu yang memilih sibuk dengan rutinitas di balik bulu kelinci adalah kalangan manusia  inautentik. 

B. Fase Keterlemparan Guru

Kondisi keterlemparan dan peralihan dari manusia autentik ke manusia inautentik ini selaras dengan kondisi kenyataan guru di negeri ini. Banyak guru kehilangan kegelisahannya sebagai seorang pendidik dan memilih terjebak pada rutinitas mengajar. Bagi guru inautentik, mengajar tak lebih dari sekadar pengulangan rutinitas terus menerus tanpa upaya pendalaman makna yang berarti. 

Secara fenomenologis, ada 3 fase transisi keterlemparan guru ke lembah rutinitas mengajar. Fase pertama adalah fase gairah. Pada mulanya, guru akan bergairah untuk mengajar. Guru secara bersemangat dan serius menarasikan pengetahuan yang diketahuinya. Guru-guru gairah ini tercermin dalam tubuh para guru-guru muda. Guru-guru fresh graduate yang wawasan dan pengetahuannya masih fresh. 

Seiring berjalannya waktu, guru fresh graduate mulai memiliki pengalaman mengajar 1-2 tahun. Selama itu, ia mulai menemukan ritme mengajar yang dirasa efektif dan membuatnya nyaman. Kondisi nyaman ini menjadikan guru masuk pada fase kedua, yaitu fase pengulangan. 

Fase pengulangan ini menggambarkan kondisi guru yang cenderung melakukan pengulangan dalam dua aspek, yaitu materi yang diajarkan dan cara dalam mengajar. Kedua aspek ini diulang terus menerus tanpa henti pada generasi yang berbeda. Pengulangan ini membawa guru pada perangkap pelik bernama keangkuhan pengalaman. Guru merasa telah berpengalaman dalam mengajar keilmuannya dan mulai menjadi angkuh untuk mengklaim dirinya sebagai sang pendidik ahli. Padahal kenyataannya, guru yang demikian adalah guru yang terjebak pada fase pengulangan menuju keterlemparan. 

Pengulangan cara dan materi mengajar yang dilakukan secara terus menerus ini membuat guru terlempar pada lembah rutinitas mengajar. Mengajar tak lagi dimaknai sebagai proses perlawanan atas kebodohan dan agenda perubahan, melainkan hanya menjadi rutinitas berulang tanpa makna. Mengajar kian menjadi aktivitas yang taken for granted, dianggap remeh, dan diterima begitu saja. Guru yang demikian telah menjelma guru inautentik. 

Secara konkret, kondisi guru inautentik dapat dideteksi dalam cara dan materi pengajarannya. Guru yang hanya mengulang materi secara template, sama persis, dan tanpa perubahan signifikan adalah guru inautentik. Guru yang cara mengajarnya begitu-begitu saja, ceramah dan marah-marah, tanpa perubahan berarti untuk menyesuaikan kondisi zamannya, adalah guru inautentik. Guru yang enggan belajar hal baru dan update pada kajian terbaru atas keilmuannya adalah guru inautentik; guru yang terlempar pada lembah rutinitas mengajar.

Puncaknya, guru inautentik akan terlihat seperti zombie. Mengajar lempeng tanpa gairah. Kehilangan makna utama dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Mentalitas mengajarnya mengkerut dan berubah hanya sekadar rutinitas berulang selama bertahun-tahun. Tanpa perubahan, tanpa pergerakan, dan tanpa hasil yang berarti. 

C. Hari Guru sebagai Refleksi bukan Ceremonial

Kenyataan ini merupakan ironi eksistensial yang dialami guru. Guru mula-mula bergairah. Penuh ambisi dan misi dalam pendidikan. Dua-tiga tahun beralih pada fase pengulangan akibat keangkuhan pengalaman. Sisanya, guru mulai terlempar ke alam rutinitas mengajar yang menjadikannya inautentik. 

Rasa-rasanya, persoalan eksistensial guru ini perlu diatasi pula dengan terapi eksistensial, yaitu refleksi. Guru perlu bercermin secara rutin melalui perenungan. November sudah berlalu yg berganti Januari 2025 dapat menjadi agenda refleksi yang strategis sebagai seorang guru, mengingat November merupakan bulannya seorang guru kendati sudah lewat namun bila diperhatikan secara seksama Hal ini dapat dijadikan momentum perenungan bagi guru untuk memahami kondisi eksistensialnya dengan mengajukan pertanyaan serius seputar; “masihkah saya seorang guru?”, “masihkah saya seorang guru yang autentik?”, “sudah terlempar sejauh mana saya dari jalur gelisah tentang pendidikan?”

Dengan refleksi dalam aktivitas perenungan, guru akan melakukan kritik eksistensial pada dirinya. Hasil kritik tersebut dapat menjadi modal untuk guru mengembalikan software kegelisahannya dalam mendidik. Guru akan kembali. Dengan demikian, guru akan terus bergairah dan tetap autentik di sepanjang zaman. 

Senin, 25 November 2024

Guru, Tentara, dan Dokter


 Guru, Tentara, dan Dokter.

“Kita harus sangat menghormati guru. Kita harus memperlakukan guru seperti tentara, dan kita harus menggaji mereka seperti dokter.”

***

Kutipan itu begitu berkesan di hati saya. Baru-baru ini saya mendengarnya. Lebih tepat melihatnya dalam sebuah wawancara di YouTube. Kutipan ini muncul dalam sebuah wawancara radio (yang di-video-kan) di Amerika, diucapkan oleh seorang tokoh politik muda.

Sebelum membaca lebih lanjut, mungkin saya harus menjelaskan dulu konteks dan situasi di balik kutipan itu.

Masalah pendidikan di mana-mana memang sama. Ini masalah paling mendasar untuk masa depan. Tidak terkecuali di negara seperti Amerika. Dan salah satu topik utama adalah gaji guru. Belakangan, ini juga menjadi isu besar di Negeri Paman Sam.

Ketika sang tokoh muda ini bilang soal memperlakukan guru seperti tentara, yang dia maksud adalah menghormati mereka seperti tentara. Di Amerika, yang namanya tentara memang sangat mendapat perhatian dan perlakuan khusus.

Lihat saja pertandingan-pertandingan olahraga profesional di Amerika, seperti NBA (basket), MLB (baseball), NFL (American Football), bahkan NASCAR (balap mobil). Sering sekali ada penghormatan terhadap anggota militer, atau veteran perang, dalam pertandingan-pertandingan yang diselenggarakan, Guru memang belum pernah diperlakukan sebesar itu.

Apalagi soal gaji. Sama seperti di Indonesia, banyak yang menganggap gaji guru belumlah layak. Apalagi ini menyangkut masa depan anak bangsa. Dan terus ada perdebatan, guru seperti apa yang layak mendapat gaji besar…

Tentu saja, karena ini Amerika, sang tokoh politik menyampaikan argumen berdasarkan data.

Dia menyebut hasil penelitian seorang teman, yaitu seorang ekonom. Sang teman melakukan penelitian berdasarkan data pajak, meneliti seberapa besar perbedaan gaji seseorang, berdasarkan siapa gurunya dulu saat masih TK.

Dan ternyata, seorang anak yang guru TK-nya dianggap terbaik, dalam hidupnya bisa mendapat penghasilan jauh lebih banyak. Selisihnya sampai USD 300 ribu (di atas Rp 4 miliar) per tahun!

“Itu betapa besarnya dampak seorang guru terhadap penghasilan seseorang dalam setahun!” tandasnya.

Kebetulan, sang politikus ini memang punya atensi khusus di dunia pendidikan. Ayah-ibunya dosen, suaminya guru SMP. Dia terus menyebut betapa beratnya pekerjaan seorang guru. Dia juga punya kredibilitas membandingkan guru dengan tentara, karena dia juga veteran perang di Afghanistan.

Dalam program yang dia impikan, harus ada dana khusus pemerintah pusat untuk pendidikan, khususnya gaji guru. Dan dana terbesar harus untuk sekolah-sekolah terbesar, yang memiliki murid kurang mampu terbanyak. 

***

Omongan sang politikus muda itu terus membuat saya berpikir. Soal sekolah, di negeri kita, benar-benar membuat orang tua waswas.

Bagi yang keluarga mampu, sama sekali tidak masalah. Bisa membayar sekolah yang mahal, yang asumsinya punya fasilitas dan guru terbaik. Dan kalau mendengar omongan dari Amerika itu, guru yang baik nantinya akan membuat anak-anak kita baik pula di masa depan.

Bagi yang tidak mampu? Alangkah tidak adilnya.

Kebetulan, adik saya masih SD. Kebetulan, kami keluarga yg terbilang tidak begitu mampu, belum bisa menempatkan mereka di sekolah yg mahal dan bergengsi. Tapi saya selalu bicara dengan orang tua saya, bahwa saya ingin adik-adik saya lanjut ke sekolah negeri. Saya dulu SD, SMP, SMA, di pondok pesantren.

Kalau Amerika saja kesulitan menghargai guru-gurunya, apalagi Indonesia?

Kalau terus seperti ini, guru-guru terbaik (dan mahal) akan selalu bekerja di sekolah-sekolah mahal. Itu manusiawi. Kalau terus seperti ini, berarti akan selalu ada kesenjangan.

Pembicaraan soal gaji guru di Amerika ini terus memancing minat saya. Dan saya harus berterima kasih kepada politikus muda itu, karena terus membicarakannya secara publik.

Maklum, dia memang sedang mengajukan diri sebagai calon presiden Amerika Serikat. Kalau berhasil, maka dia akan menjadi presiden Amerika termuda dalam sejarah.

Pria yang sedang naik daun itu namanya Pete Buttigieg. Usianya 37 tahun, dan sekarang menjabat sebagai wali kota di South Bend, negara bagian Indiana. Suaminya, Chasten, adalah seorang guru.

Minggu, 24 November 2024

MENGGUGAT INDEPENDENSI KADER HMI: HMI HANYA BERSEKUTU DENGAN KEBENARAN BUKAN PADA KEKUASAAN

 

Nanang Tahqiq Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pernah Mengatakan “ada 3 kekuatan kunci yang saling bertaut telah menciptakan HMI begitu memukau, 1 Latihan kader, dua Tradisi Intelektual, dan tiga adalah Independensi. 3 kunci tersebut menjadi sesuatu yang sacral dan Istimewa bagi hmi sehingga kunci tersebut menjadi kekuatan yang merupakan tidak tercerai dan utuh, elemen-elemen pokok yang saling menunjang dalam membangun basis perkaderan yang Tangguh, lewat Bahasa hmi ketiga unsur tersebut ditujukan demi meraih tujuan hmi. Dalam paparan tentang 3 kunci yang saling bertautan itu Kesimpulan yang bisa kita ketengahkan bahwa hmi kehilangan nama (tuah, kekuatan, batin)

Tulisan ini berangkat dari fenomena yang dalam beberapa tahun terakhir saya lihat sangat popular di tengah tengah kader hmi namun bukan intelektualitas, bukan pula spritualitas, bukan pula prestasi, namun justru tergerusnya Independensi dalam sikap dan dan jati diri kader hmi pada perayaan demokrasi dan hari-hari.

Di dalam Konstitusi HMI, Independensi dibagi atas 2 yaitu independensi organisatoris dan independensi etis. Independensi organisatoris diatur dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) HMI, sebagaiamana tertuang dalam pasal 5 jo pasal 18 ayat 3 Anggaran Dasar (AD) HMI tentang sifat organisasi yang berbunyi; "HMI adalah organisasi yang bersifat Independen". Selain itu, pelanggaran terhadap independensi organisasi dapat merusak citra organisasi, kondisi ini tentu melanggar ketentuan pasal 5 ayat (1) Anggaran Rumah Tangga (ART) HMI yang berbunyi; "Setiap anggota HMI berkewajiban menjaga nama baik organisasi", karena tindakan-tindakan demikian telah memperburuk citra organisasi dimata publik. Selain itu, jika tindakan melanggar independensi organisasi dilakukan oleh pengurus dalam hal ini adalah Ketua Umum baik pada tingkat PB, Cabang, hingga Komisariat, maka masing-masing melanggar ketentuan pasal 18 ayat 9 huruf a, pasal 27 ayat 8 huruf b, dan pasal 36 ayat 8 huruf a Anggaran Rumah Rangga (ART) HMI, yang berbunyi; "Ketua Umum dapat diberhentikan dan diangkat pejabat ketua umum sebelum kongres/konfercab/rak apabila membuat pernyataan publik atas nama PB/Cabang/Komisariat yang melanggar Anggaran dasar pasal 5", dan yang terakhir jika anggoata HMI tergabung dalam partai politik maka melanggaran ketentuan pasal 3 ayat 4 huruf d yang berbunyi, "Masa keanggoataan berakhir apabila menjadi anggota partai politik".

Selain independensi organisatoris, independensi etis juga harus dikedepankan dalam setiap persoalan proses kader. Himpunan Mahasiswa Islam memiliki segenap nilai, kebiasaan, dan tradisi-tradisi yang membentuk karakter kader yang kemudian terjelma dalam independensi secara etis, sehingga pola pikir, pola sikap, dan pola kerja kader diarahkan kepada kebaikan. Independensi etis pada hakekatnya merupakan karakter kader yang sejalan dengan fitrah manusia, yaitu cenderung pada kebenaran (hanief). Aktualisasi dari indpendensi etis ini tertuang dalam 5 profil kader HMI yaitu:

1.  Cenderung kepada kebenaran (hanief)

2.  Bebas, terbuka, dan merdeka

3.  Objektif, rasional, dan kritis

4.  Progresif dan dinamis

5. Demokratis Jujur dan Adil

Dari penjabaran di atas kitab isa menghayati bahwasanya hmi hanya bersekutu pada kebenaran itu sendiri, lagi pula hmi pada awal berdirinya hmi dengan tegas dan keras menyatakan bahwa hmi sebagai organisasi yang independent seperti awal lahirnya dan menyatakan bahwa hmi bukan underbow dari partai masyumi. Dan tidak itu saja hmi bukan underbow dari pihak manapun atas dasar dan alasan apapun.

Lantas mengapa hari ini kita sebagai kader hmi bergitu terang benderang mengacung jari isyarat pasangan calon tertentu, lantas mengapa kita tidak malu membagikan momen-momen politis bersama pasangan calon tertentu, lalu mengapa kita berteriak no pasangan calon tertentu serta mengajak kader-kader hmi yang baru saja dikukuhkan menjadi kader hmi dan mahasiswa yang masih berstatus kader. Dimana gaungan independensi hmi yang kerap kita teriakan di depan khalayak ramai?

Bukankah kita mengetahui dalam buku Lafran Pane:Jejak Hayat dan Pemikiranya. Bahwa Lafran Pane pernah ditawarkan menduduki jabatan strategis dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP), hal yang sama juga di lakukan oleh Partai Golkar namun dengan tegas dan keras Lafran Pane menolak seluruh tawaran tersebut dengan konsisten dan komitmen dengan berkata “kalo saya masuk partai politik atau organisasi lain maka hmi sudah tidak di anggap independent lagi. Jika dihayati maka kita bertemu pada Kesimpulan bahwa memang hmi didirikan sebagai organisasi mahasiswa bukan dibentuk sebagai organisasi politik dan karna itu tidak berorientasi pada politik. Perjuangan hmi adalah perjuangan kebenaran, atau nilai nilai kemanusiaan, dengan demikian hmi dapat disebut sebagai kekuatan moral dan pantulan suara Nurani masyarakat melalui spirit keislaman dan keindonesiaan.

Fakta yang tidak terbantahkan selain itu yang menegaskan bahwa hmi bukan antek antek kekuasaan, bukan kolega partai politik manapun bahkan ormas manapun serta kepentingan apapun selain rakyat dan kebenaran adalah Yahya zaini (Ketua Umum PB HMI 92-95) dalam sambutanya pada pembukaan kongres ke-20 hmi di istana negara Jakarta 21 januari 1995 menyampaikan sambutan yang berjudul HMI dan Protes Penindasan kekuasaan.

Taufik Hidayat (Ketua Umum HMI 95-97) dalam sambutanya pada dies natalis hmi ke 50 menegaskan dan menjawab kritik kritik yang memandang hmi terlalu dekat dengan kekuasaan. Anas urbaningrum pada peringatan dies natalis hmi ke-51 di graha insan cita Depok 22 febuari 1998 dengan judul “Urgensi Reformasi bagi Pembangunan bangsa yang bermartabat” dan pada dies natalies ke-52 di auditorium Sapta Pesona Jakarta sambutan ketua umum PB HMI berjudul “dari hmi untuk kebersamaan bangsa menuju Indonesia baru” lalu pada dies natalis hmi ke-53 melalui sambutan M. Fakhruddin (ketua umum PB HMI 99-02) berjudul “Merajut Kekuasaan Oposisi Membangun Demokrasi Membangun Peradaban Baru Indonesia”

Jika dihayati secara seksama dari dulu hmi tidak pernah bercengkrama dengan kekuasaan dan partai politik manapun dengan alasan apapun, namun mengapa hari ini kita begitu mudah menggadaikan independensi lalu menggadaikan harga diri hmi di depan kekuasaan dan kepentingan. Mengapa semua hal tersebut menjadi sesuatu yang normal di mata kader-kader Himpunan Mahasiswa Islam.

Beberapa bulan lagi Himpunan Mahasiswa Islam akan berusia 78 tahun, Sebagai organisasi kemahasiswaan Islam tertua dan terbesar di Indonesia, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) tidak mungkin untuk diisolasi dari tanggungjawab sosio-intelektual untuk memajukan kehidupan kebangsaan dan keummatan di Indonesia. Kebesaran HMI sama dan sebangun dengan besarnya tanggungjawab sosio-intelektual yang harus dipikul oleh HMI. Oleh karena itu, keadaan kebangsaan dan keumatan saat ini yang masih dililit oleh berbagai problem multidimensional selalu memunculkan pertanyaan dan sikap outokritik dari internal warga HMI maupun kritik dari masyarakat pada umumnya: “Berbuat apa saja HMI saat ini ?”.

Tulisan singkat ini hendak mengajukan: Pertama, perspektif untuk mengenali grand narasi sebagai hasil kontestasi narasi yang tumbuh di tubuh dan aktivitas HMI di tengah perjalanan panjangnya sebagai organisasi kemahasiswaan Islam Indonesia. Perspektif ini penting untuk memahami sekaligus merefleksikan keadaan kekiniaan yang dialami oleh HMI terutama dalam konteks usia bilogisnya yang saat ini telah berusia 74 Tahun pada 5 Februari 2021.  Kedua, tawaran tentang posisi sosial-politik yang mesti diperankan oleh HMI  yang senafas dengan nilai-nilai yang dianut dalam doktrin perjuangan (NDP) HMI maupun mission secre yang secara normatif tertulis dalam konstitusi HMI.

a. Grand Narasi: Kontestasi Narasi Di HMI

Narasi berkaitan dengan nilai dan pemikiran yang tampil membentang pada setiap lintas zaman dan generasi dalam suatu komunitas berfikir (Bandingkan Lyotard:1984). Di dalam komunitas berfikir itu, terdapat berbagai macam narasi yang saling berkontestasi. Produk dari kontestasi narasi itu memunculkan tampilnya grand narasi sebagai narasi dominan. Grand narasi inilah yang umumnya memberi kode atau tanda bagi periode zaman dan generasi itu.

Dalam kontestasi narasi ini, setidaknya dapat dikenali tiga grand narasi  di HMI (Bandingkan dan lihat Arif Musthopa, 2007). Pertama, grand narasi heroisme. Ha Ini ditandai dengan keseluruhan gerak HMI yang diabdikan ke dalam perjuangan untuk mempertahankan eksistensi negara sekaligus eksistensi HMI dari segala hal yang berupaya menggugat dan menghancurkannya. Pada masa ini, HMI dihadapkan pada upaya pendudukan kembali penjajah Belanda, perpecahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan penyebaran faham komunisme oleh Partai Komunis Indonesia.

Kedua, grand narasi intelektualisme. Hal ini dihasrati oleh gairah mewujudkan kontribusi HMI, beritjihad, atas kemandekan berpikir dalam tradisi Islam di Indonesia. Grand narasi ini mulai muncul tahun 1960-an akhir hingga tahun 1980-an dan memunculkan gelombang pembaruan pemikiran Islam yang sangat menonjol dengan ikon utamanya Nurcholish Madjid (alm).

Ketiga, grand narasi politisme. Yakni dominasi logika kekuasaan dan mainstream berpikir politis dalam tubuh dan aktivis HMI. Grand narasi ini diawali dengan pemaksaan asas tunggal oleh penguasa Orde Baru pada tahun 1980-an awal. Logika kekuasaan tersebut membekas sangat kuat, karena “memaksa” HMI untuk lebih erat dengan kekuasaan negara. Akibatnya, HMI larut dalam logika kekuasaan tersebut dan menghantarkan HMI pada situasi stagnasi yang oleh Arip Musthopa (2007) disebut sebagai ‘gelombang beku’ (freezed) yang terjadi di akhir tahun 1990-an hingga saat ini.

Oleh Musthopa, gelombang beku ditandai dengan tampilnya generasi aktivis HMI yang memitoskan generasi sebelumnya, berlindung dan menuai keberkatan dari kebesaran generasi sebelumnya. Maka jangan heran bila saat ini banyak kader yang cenderung berpikir pragmatis, minim inisiatif, dan miskin kreatifitas. Dengan demikian menjadi wajar apabila generasi ini juga mudah larut dalam agenda politik pihak eksternal dan berkonflik di internal ketimbang menjunjung tinggi persatuan dan program membangun HMI. Gelombang beku merupakan titik nadir dari produk grand narasi politisme.

b. Problem Orientasi Independensi

Jika dievaluasi, dalam suasana kebebasan sosial-politik pasca rezim otoritarian orde baru saat ini, HMI belum mampu keluar dari kerangkeng gelombang beku yang diproduksi oleh grand narasi politisme. Kenyataannya sebagai organisasi dengan jaringan struktural yang besar, membeku bersama kebesarannya. Secara internal, kebekuan ini terlihat pada munculnya sindrom dualisme dalam kepemimpinan organisasi HMI akibat sibuk berkelahi internal untuk memuaskan ambisi struktural kelompok-kelompok yang saling berkelahi. Berbagai jenis pengkaderan formal dan non formal yang dilakukan tidak memiliki outcome untuk membangun tradisi kolektif kolegial dalam pikiran struktural HMI.

Pengkaderan gagal membangun tradisi mazhab intelektual HMI seperti yang secara gemilang pernah dimunculkan oleh grand narasi intelektualisme. Justeru, pengkaderan kerap didistorsi menjadi mesin untuk memproduksi anggota baru yang tumbuh menjadi gerbong-gerbong kelompok yang getol menciptakan friksi dan saling berkelahi untuk memperebutkan mitos-mitos kebesaran HMI, yang ujungnya dapat ditebak berharap mendapatkan rente kebesaran HMI.

Secara eksternal, akibat membekunya iklim intelektual dalam tubuh dan aktivis HMI maka kapasitas HMI dalam melakukan respon akademik terhadap problem kebangsaan dan keumatan menjadi sangat terbatas. Hal umum yang bisa dilakukan hanyalah merayakan peristiwa-peristiwa ritual kebangsaan dan keagamaan tanpa mampu merumuskan, meresolusikan dan mengadvokasi resolusi-resolusi dari setiap peristiwa yang dirayakan.

Terlebih lagi, akibat kebekuan intelektual ini HMI gagap dalam melakukan respon akademik dalam melahirkan dan memimpin momen-momen perubahan. Justeru yang kerap terlihat, secara sembunyi-sembunyi ataupun terang-terangan HMI (aktivis HMI) menjadi pemandu sorak politik untuk menyokong kepentingan politik praktis elit.  Bahkan, adakalanya para elit HMI menjadikan keterlibatannya sebagai partisan politik (terutama sebagai ring satu elit politik) sebagai prestasi yang prestisius dalam karir ber-HMI.

Situasi seperti inilah yang menandai terjadinya krisis orientasi yang berkepanjangan dalam tubuh dan aktivis HMI. Jika di era orde baru kita mengenal istilah “floating mass”, maka di era pascaorde baru saat ini HMI dan sebagian besar kader-kadernya masih terjebak dalam situasi “floating activism”, yakni aktivis mengambang yang tidak memiliki kejelasan orientasi dalam pergerakan dan perjuangan.

c. Krisis Orientasi Dan Jerat Pragmatisme

Krisis orientasi yang berkepanjangan akibat kerangkeng gelombang beku yang diproduksi oleh grand narasi politisme dalam tubuh dan aktivis HMI sudah saatnya dihentikan. HMI dan aktivis-aktivisnya harus kembali pada khittah keberadaannya sesuai dengan mission secre yang dikonstruksi oleh Nilai Dasar Perjuangan (NDP) maupun tujuan mulia “terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam, dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil, makmur yang diridhoi Allah SWT”.

Di tengah suasana kebebasan sosial-politik saat ini, dengan modal sistem pengkaderan berbasis NDP yang mapan, dukungan jaringan struktural organisasi yang berjejaring dari pusat sampai ke daerah, serta jumlah keanggotaan yang besar dan produksi kader terus-menerus, mestinya HMI mampu tampil sebagai kekuatan sosial yang terkonsolidir. Adapun jenis kekuatan sosial yang cocok dengan sumberdaya dan profil yang dimiliki oleh HMI adalah sebagai kekuatan kelas menengah profetik

Kelas menengah yang dimaksud adalah lapisan masyarakat yang berada diantara lapisan masyarakat jelata dan lapisan pemilik kapital (ekonomi/politik). HMI merupakan kelas menengah intelektual karena dihuni oleh mahasiswa Islam sebagai insan akademis. Lebih jauh, karakter kekuatan kelas menengah HMI harus memiliki kekhasan yakni profetisme. Artinya, HMI merupakan kelas menengah intelektual Islam yang mengusung misi profetik, sehingga gerakan kelas menengah yang diperankan oleh HMI adalah gerakan kelas menengah profetik.

Gerakan kelas menengah profetik HMI dapat dirujuk pijakannya pada Q.S. Ali Imran: 110 “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah”. Dalam pandangan Kuntowijoyo (2006), kandungan Q.S. Ali Imran: 110 ini dapat diobjektivikasi dalam tiga aspek penting yang tidak terpisahkan, yakni Pertama, humanisasi (amar ma’ruf), melalui gerakan sosial edukatif yang menekankan pada gerakan penyadaran sosial-politik dan penyebaran gagasan-gagasan demokrasi, hak-hak asasi, anti korupsi dan sebagainya. Humanisasi  bertujuan untuk memanusiakan manusia.

Kedua, liberasi (nahi munkar), melalui gerakan sosial korektif baik melalui kajian-kajian akademik yang dipublikasikan sebagai counter hegemony, advokasi kebijakan, sampai dengan aksi pressure group melawan rezim pusat atau lokal yang menindas. Liberasi bertujuan untuk membebaskan masyarakat dari kekejaman kemiskinan struktural, ataupun pemerasan terhadap alam dan kehidupan sosial.

Ketiga, transendensi (tu’minuna billah), yang bertujuan untuk memberi makna dan mutu aksiologis pada gerakan bahwa ikhtiar dan tujuan gerakan sosial yang dilakukan merupakan wujud dari persaksian akan nilai-nilai transendensi-Ketuhanan.

Akhinya pada penghujung tulisan ini saya dan kita semua berharap semoga kader kader Himpunan Mahasiswa Islam kembali pada Khittah Perjuangan nya, menjaga independensi nya serta menjaga dan merawat nilai-nilai dasar perjuangan serta ke-HMI-an.

Minggu, 11 Agustus 2024

ERA PETANI YANG TRAGIS: MERINGIS DI NEGERI AGRARIS


        Sekarang ini generasi muda sangat sedikit yang terlibat di dunia pertanian. Dalam jangka panjang, tentu ini akan membahayakan karena pertanian termasuk salah satu pemasok kebutuhan pokok berupa penyediaan pangan.” (Qomarun Najmi, Sektimuda)

        Mengapa anak muda enggan kembali ke desa untuk membangun kampung halaman seusai merantau untuk belajar dan bekerja di kota? Jawabannya lugas dan sederhana: tidak semua anak muda punya privilege dan akses terhadap sumber daya. Mungkin saja orangtua mereka sudah habis-habisan menjual aset lahan untuk biaya kuliah. Menjadi buruh tani adalah nasib yang tak diinginkan oleh orangtua bagi dirinya dan keturunannya. Juga, ada anggapan bahwa pulang ke desa hanya bagi mereka yang kalah dan tak mampu bersaing di kota.

            Banyak anak muda yang membayangkan kehidupan seindah ini: Bekerja sebagai petani di siang hari, membaca buku dan mengamati bintang di malam hari, dengan sesekali nyambi sebagai Youtuber dan content creator, semata romantisasi “cottagecore”. Kenyataannya, bertani adalah pekerjaan berat dan hasilnya tidak sebanding dengan modal waktu, tenaga, biaya, dan pikiran – termasuk harus berkorban perasaan.

        Ayah dan adik saya adalah saksi hidup ketidakpastian nasib petani. Mereka bertani karet dan sayur mayur untuk memenuhi kebutuhan hidup. Setiap bulan mereka tetap membutuhkan suntikan dana tambahan untuk membeli kebutuhan tani, entah itu bibit dan benih, atau pupuk dan pakan, atau bayar upah pegawai harian yang membantu di lahan milik keluarga. Saat panen tiba, bukan laba yang dituai sebagai imbalan setelah bekerja membanting tulang, melainkan rasa dongkol karena harga jual hasil panen tak sebanding dengan modal yang keluar. Pengalaman pahit keluarga saya juga menimpa banyak petani di negara yang membanggakan diri sebagai negara agraris ini.

        Setidaknya, ada tiga penyebab utama di balik kenyataan pahit yang harus diterima petani Indonesia.

   Pertama, kebijakan pemerintah yang mengakibatkan ketergantungan kita terhadap impor produk pertanian. Produk gandum yang kita tidak kuasai cara menanam dan teknologinya justru kita impor hingga 18,9 persen dari pangan nasional. Selain itu, banyak warga tidak lagi mengenal pangan lokal seperti ganyong, gembili, sorgum, sagu, sukun, dan berbagai jenis umbi, yang dulunya dipergunakan sebagai sumber pangan utama atau produk cadangan dan substitusi pangan nasional.

      Kedua, pergeseran pola konsumsi dari produk pangan lokal menjadi produk pangan dari luar, yang dapat mengakibatkan kerawanan dan perebutan sumber daya. Pangan lokal kian hari kian terpinggirkan. Kebijakan penyeragaman makanan pokok berupa beras yang sistematis, terstruktur dan masif dari Sabang sampai Merauke, membuat kerawanan pangan semakin mengancam. Lihat saja bagaimana tahun 2005 terjadi bencana kelaparan di Yahukimo, Papua yang merenggut sekitar 128 nyawa. Tragedi kemanusiaan ini diduga akibat cuaca buruk dan gagal panen. Namun perubahan kebiasaan makan beras sejatinya merupakan akar masalah kerawanan pangan karena sebelumnya warga menanam dan mengonsumsi umbi-umbian yang tumbuh subur di sini.

        Ketiga, budaya agraris mulai ditinggalkan. Hari Tani Nasional, yang rutin diperingati setiap tanggal 24 September, menjadi pengingat bahwa nasib petani Indonesia masih jauh panggang dari api. Petani sejak awal dikonstruksi untuk menghasilkan pangan sebagai komoditas, sebagai penyangga pangan nasional, bukan semata pemenuhan kebutuhan subsisten perorangan.

      Saat ini, sekitar 62% petani di Indonesia berusia di atas 45 tahun, sementara para milenial lebih memilih beragam profesi yang mentereng di kota, sebagai profesional di perusahaan, pegawai negeri di kantor pemerintah bahkan menjadi selebgram. Bagaimana mengubah pola pikir bahwa bertani itu keren dan prospeknya menjanjikan? Jika generasi muda enggan menjadi petani, siapa yang akan jadi penyedia pangan bagi 270 juta orang Indonesia?

Pendampingan masyarakat guna memastikan bahwa komunitas dampingan punya sumber penghasilan alternatif, pemerintah perlu mengubah kebijakan dan pendekatan yang terbukti tidak efektif di lapangan. Juga perlu ada upaya edukasi terus menerus mengenai ketahanan pangan melalui pertanian yang berkelanjutan dan menyejahterakan.

Belajarlah dari kiprah Marzuki Mohamad, musisi pendiri kelompok Jogja Hip Hop Foundation, yang membantu para petani di Dusun Banjarsari, Klaten, Jawa Tengah, kampung halamannya. Sejak tujuh tahun lalu ia mendirikan kelompok petani muda desa sebagai wadah belajar bersama metode baru pertanian dan pengembangan usaha produksi beras dari hulu ke hilir. Kini sudah ada unit produksi UD Anarkisari dengan produksi beras jenis C4 yang dibanderol Rp 12.500 per kilogram, relatif lebih tinggi dan menguntungkan petani, karena memotong rantai distribusi. Prinsip Marzuki: “Desa harus kuat biar tidak ditinggal oleh anak-anak mudanya, pun, pertanian menjadi gaya hidup yang menyenangkan bagi mereka”. Tanpa dijadikan komoditas dan jargon politik, petani muda terbukti bisa berdaya di desa.

Bertani harus berkelanjutan secara ekonomi dan ekologi. Pemberdayaan pun tidak bisa dilakukan dengan program-program top down, melainkan harus berdasar pada assessment di lapangan (bottom up), sehingga sesuai dengan kebutuhan petani.

Lebih dari lip service, jadikanlah hasil tani lokal menjadi primadona di negeri sendiri. Stop kebijakan impor bahan pangan yang meruapkan aroma rente dan merugikan petani.

Terakhir, daripada memberikan bantuan sosial yang bersifat derma berupa barang, sebaiknya pemerintah menyediakan fasilitas pinjaman berupa Kredit Usaha Rakyat/KUR dengan skema yang jelas dan menguntungkan.

Jangan sampai petani milenial meringis di negeri agraris. Yuk bisa yuk, yang muda yang bertani di Indonesia.

"KARTU KUNING UNTUK DOSEN MENGAJAR"

"Nak bapak ada rapat hari ini, semua nya di ganti dengan tugas hal bla...bla....bla..."

"Nak sekarang ibu lagi di luar kota, Karna ada urusan mendadak. Jadi kuliah hari ini kita libur"

"Nak bapak agak nya terlambat masuk Karna ini dan itu, jadi tunggu aja dulu ya"

Ini mungkin beberapa alasan yg kerap kita temukan dari seorang dosen atau pengajar bahkan tidak hanya di bangku perkuliahan, SD, SMP, SMA. Atau strata manapun. 

"Horeeeee.... Libur lagi nih"

"Yesssss ga masuk kuliah, bisa tidur seharian nih"

"Yah kosong lagi hari ini"

Dan itu beberapa reaktif dari beberapa mahasiswa yg kerap kita dengar.

Pernah suatu waktu, saya, sebagai mahasiswa baru, sangat bersemangat untuk berangkat kuliah. Pagi itu saya buru-buru menghabiskan sarapan karena takut terlambat datang ke kampus. Bahkan saya mengabaikan panggilan alam yang menghantui jiwa dan raga sepanjang perjalanan. 

Tiba di kampus, saya bertemu teman sekelas yang kusut wajahnya. Terlihat sekali bahwa dia belum menunaikan bersih diri. Kami berbincang terkait pembelajaran dan harapan orang tua pada anaknya yang sedang kuliah sembari menghayati perjalanan menuju kelas.

Saat bertemu dengan teman-teman lain di depan ruang perkuliahan, nahas, tiba-tiba sang dosen, makhluk yang akan memberi kami pengetahuan, memberitahukan secara mendadak bahwa dia tidak bisa hadir karena ada beberapa urusan. Mendengarnya, jelas kami yang sudah tiba kampus kecewa.

Dikecewakan

Kabar ini membuat suara panggilan alam yang tadinya menghantui saya sepanjang perjalanan tidak lagi menggema. Waktu itu saya hendak angkat suara tuk meminta kepedulian sang dosen. Namun, salah seorang kawan mengingatkan apa yang pernah dikatakan senior terkait makhluk bernama dosen ini. Katanya, dosen memiliki dua aturan utama, yang pertama adalah mereka tidak pernah salah. Kedua, kalau salah, kembali ke peraturan pertama.

Saya mencoba ikhlas. Barangkali fenomena dosen tidak jadi masuk kelas ini telah ditulis di lauhul mahfudz oleh Sang Maha Kuasa sebelum segala sesuatu ada. Beberapa teman memutuskan tuk ngopi dalam rangka menghibur diri, ada juga yang semringah karena mendapatkan waktu lebih tuk berkencan, ada pula yang mencari tempat lain tuk melakukan pembelajaran. Tidak sedikit yang pasrah dengan keadaan. 

Saat hendak kembali ke rumah tuk membuang sisa-sisa emosi, beberapa teman bergumam pada saya terkait orang tua mereka yang semringah melepas keberangkatan anaknya pergi kuliah. Jelas mudah ditebak bagaimana perasaan orang tua mereka jika mengetahui bahwa anak kesayangannya ternyata ditelantarkan oleh makhluk aneh. Sebutan ini cocok disematkan pada makhluk ini karena dia adalah ciptaan Tuhan yang (jangan-jangan) tugasnya memang membuat manusia heran.

Sulit untuk ikhlas

Melihat kondisi ini, keikhlasan yang telah datang, saya tunda sementara sembari berspekulasi bahwa jangan-jangan dosen menyebalkan ini adalah orang yang dimatikan hatinya oleh Tuhan. Seperti yang tertulis dalam kitab suci dan saya langsung ingat ungkapan satir Syarif Maulana yang penuh hikmah: “Aku mengajarkanmu keikhlasan agar hakmu dapat kuambil tanpa perlawanan.”

Masalahnya adalah, fenomena ini bukan terjadi sekali atau dua saja. Jika dihitung seberapa sering, bahkan pada seorang mahasiswa baru seperti saya, mungkin akan setara dengan seringnya pejabat negeri ini melakukan korupsi. 

Saya menyadari bahwa tidak semua dosen memiliki kelakuan menyebalkan seperti ini. Pasti ada dosen yang sangat perhatian dan menghargai para mahasiswa. Saya jadi curiga, dosen seperti ini adalah spesies langka. Saya sebut langka sesuai data yang ada di kepala saya dari cerita senior dan beberapa cerita lainnya yang perlu diwaspadai kepunahannya. Poin saya bukan pada apakah semua dosen seperti ini. Saya ingin setidaknya mengetuk hati nurani mereka yang menyebalkan dan abai terhadap tanggung jawab.

Perlahan mengamati fenomena ini, sebenarnya saya masih ingin memilih tuk sabar dulu. Sebab, biasanya, saya langsung koar-koar kalau ada fenomena nggemesin seperti ini. Namun, saat teman saya yang rajin mengunggah status WhatsApp tak lama saat ada tiga dosen dalam satu hari yang menyatakan tidak masuk kelas, sehingga menyebabkan hari itu tidak ada perkuliahan sama sekali, yang berisi curhatan tentang pertanyaan orang tuanya terkait mengapa kok sering tidak ada jam kuliah di kampus, padahal orang tuanya sudah banyak berkorban agar dia dapat menempuh perkuliahan. Saat melihat status teman saya tersebut, entah kenapa timbul sesak di dada. Terbesit langsung gambaran tentang semangat seorang mahasiswa dalam berkuliah, yang di baliknya ada keringat orang tua dalam mencari nafkah. Saat melihat status teman saya tersebut, entah kenapa timbul sesak di dada. Tebesit langsung gambaran tentang semangat seorang mahasiswa dalam berkuliah, yang di baliknya ada keringat orang tua dalam mencari nafkah. 

Rasa sesak di dada yang kemudian membuat saya tak dapat diam saja melihat penelantaran ini. Hal ini juga membuat saya menolak mentah-mentah ucapan senior pada teman saya terkait aturan “selalu benar”.

Anggapan yang sejak lama sudah keliru

Saya menduga banyak dosen yang beranggapan bahwa mahasiswanya lebih senang kalau mereka tak masuk kelas. Yah, anggapan ini tak sepenuhnya salah sebab memang tidak sedikit mahasiswa yang justru senang apabila dosennya tidak mengajar. 

Ada pula anggapan bahwa mahasiswa justru senang jika dosennya tak mengajar. Anggapan ini secara tak sadar datang dari suatu persepsi bahwa kuliah bukan suatu aktivitas yang menyenangkan. Jadi, dia tak merasa ada gairah tulus tuk datang. Keberadaan persepsi ini jelas menandakan adanya problem dalam pola dan metode pembelajaran. Beberapa orang yang penalarannya tidak terlalu dalam mungkin mengatakan bahwa belajar itu memang tidak menyenangkan dan harus penuh kesabaran. Hal ini senada dengan ungkapan “Aku mengajarkanmu kesabaran, supaya kamu memaklumi penindasan yang aku lakukan.”

Belum lagi kalau ada dosen ada yang mengatasnamakan kurikulum merdeka belajar sebagai alasan dia tidak mengajar. Setelah itu dia bilang bahwa mahasiswa harus merdeka dalam belajar. Mahasiswa harus belajar sendiri dan tak boleh menuntut. 

Di sini, dosen hanya sebagai motivator. Saat “merdeka belajar” ditafsirkan secara neoliberal, sehingga membuat seorang dosen/guru melepaskan tanggung jawabnya dalam mengajar, saat itulah pikiran mereka remuk dan kurang ajar. Nah, di sini kita perlu memahami bahwa spesies homo sapiens ini tidak tiba-tiba menjadi makhluk yang aneh, jelas ada penyebab-penyebab yang melatarbelakanginya.

Wahai dosen dan mahasiswa, bersatulah!

Salah satu dosen yang sering berdiskusi dengan saya pernah bercerita terkait betapa banyaknya urusan administrasi, tugas-tugas dari kampus, garapan proposal, dan laporan-laporan yang menghantuinya. Dia berkata pada saya “Wah gila, jadi dosen itu padatnya minta ampun, ditekan administrasi sana-sini, belum lagi proposal, kepanitiaan, laporan, dan hal-hal administratif yang membuat kami sulit tuk riset secara serius apalagi berinteraksi intens dengan para mahasiswa. Bahkan tidak sedikit loh dosen yang dibuat mirip sekrup pabrik oleh kampus.” Belum lagi jika mereka punya masalah di rumah dan berimbas ke performa ketika mengajar.

Kita jelas harus memahami pula problem-problem pengganggu mental health para dosen yang melatarbelakangi timbulnya sifat aneh. Tapi tetap saja, sepelik apa pun problemnya, tanggung jawab dalam memberi pengajaran dan pendidikan pada mahasiswanya tidak akan hilang! 

Jika kita renungkan, kita menjadi paham bahwa baik dosen maupun mahasiswa sama-sama dijebak problem yang pelik oleh kampusnya. Mahasiswa ingin belajar namun dosennya tidak ngajar, dosennya pengin ngajar tapi kampus menyibukkannya dengan administrasi, ngurus proposal, kepanitiaan, dan seminar. 

Menanggapi kepelikan ini, kiranya kita perlu menyatakan seruan lantang wahai mahasiswa dan dosen, bersatulah!!!

Lawan kampus yang “aneh”

Lalu, kita perlu memindahkan predikat “aneh” pada kampus, karena ialah sejatinya dalang di balik hal menyebalkan ini. Kita perlu solid dalam menghadapi problem ini. Bisa dimulai dengan dosen yang jujur akan masalah yang ada (sebab mendidik itu ialah melawan praktik-praktik penindasan), lalu mahasiswa membantu mengadvokasinya. Sebab, bila dosen langsung yang protes pada kampus, mereka rentan tuk disingkirkan dari peradaban karena tak memiliki kekuasaan.

Sementara itu, mahasiswa memiliki posisi unik (sebagai sumber daya kampus) untuk melawan. Kampus adalah “dalang” di balik fenomena menjengkelkan ini. Akankah kita diam melihat tempat belajar kita yang remuk hingga pengetahuan ambruk? Atau kita bersuara lantang dan tidak hanya mengangguk tentu tetap santuy dan diiringi kelangopan. 

Tapi, jika ternyata ditemukan bahwa memang dosen itulah yang tidak mau mengajar langsung, maka ialah seremuk-remuknya makhluk, semoga hidayah datang padanya.

Sabtu, 10 Agustus 2024

PARADOKS PENDIDIKAN DAN TEKNOLOGI : MATINYA LIBIDO PENDIDIKAN TRANSFORMATIF ANAK BANGSA

   Tulisan ini lahir dari diskusi kecil yg berlangsung oleh beberapa orang saja, di saat kami ingin mencoba meresolusi sebuah gerakan besar dalam dedikasi untuk beberapa aspek terutama pendidikan, Literasi, Ekonomi, dan transformasi tatanan sosial ke arah masyarakat yg berfikir. 

        Sebuah grand design gerakan sosial memang bersandar pada keikhlasan serta kontemplasi pada tentang hakikat keberadaan kita sebagai orang yg berfikir dan terdidik apalagi diasuh dan diasuh dalam organisasi. Semoga bisa bermanfaat dan bisa mencerahkan.

      “Sekumpulan teori hanya akan menghasilkan teori lainnya,” begitu lebih kurangnya ucap Seno Gumira Ajidarma dalam sebuah acara webinar mengenai kritik sastra beberapa tahun lalu. Aku pun mengamini yang dikatakan SGA ketika itu. Teori, alih-alih mampu diterapkan di lapangan, terkadang hanya menjadi sebatas kritik tanpa ada sesuatu untuk ditawarkan. 

  Selanjutnya, hal serupa diamini oleh Mohammad Rafi Azzamy dalam tulisannya yang berjudul, “Kita Butuh Gerakan Sosial yang Lebih Mutakhir”. Menurutnya akan lebih masuk akal jika sebuah gerakan sosial tidak hanya sebatas kritik, tetapi juga menawarkan sebuah solusi jitu terhadap permasalahan yang dikritiknya–sebuah gerakan sosial yang lebih pragmatis, mungkin.

        Tidak hanya kritik teori sastra yang semakin berkembang secara luas, lebih maju, serta inovatif. Dalam pendidikan, berbagai teori dan inovasi paling mutakhir juga terus dikembangkan seiring berjalannya arus zaman. Akan tetapi, permasalahannya adalah terkadang teori yang dikembangkan tersebut terlampau mutakhir untuk digunakan di lapangan. 

SDM dan Lapangan yang Kurang Mutakhir

Komponen penggerak dalam pendidikan salah satunya adalah guru atau pendidik. Tugasnya, jika mengutip Oemar Hamalik, yaitu menyelenggarakan pembelajaran, melatih, meneliti, mengembangkan, mengelola, serta memberikan pelayan teknis lainnya dalam bidang pendidikan. Pendidik harus memenuhi kualifikasi di bidang pendidikan yang sesuai dengan standar kompetensinya–pedagogis, kepribadian, sosial, dan profesional. d ilanggengkan, sejatinya pendidikan kita layaknya zombie, ia tak hidup, pun tak mati; ia bergerak tetapi tak bebas.

     Hari hari ini pula kita dipertontonkan bagaimana setiap pendidikan memang tidak semua nya namun hampir semua nya kemudian menunggangi pemikiran pemikiran para siswa dan siswi lalu memenjarakanya dengan ayunan ayunan prestasi dan mendesak nya tanpa kompetisi dan kompetensi yg sehat.

      Seperti yang dijelaskan oleh Philip Wexler dalam Education in a Changing Society. Negara menggunakan sekolah untuk menyebarkan propagandanya, agar manusia-manusia di dalam sekolah dapat menjadi warga yang paham dan diam akan aturan-aturan yang ada, dan prestasi di sini adalah alat yang sangat efektif untuk melakukannya.

        Pengajaran-pengajaran di sekolah sangat erat dengan apa yang disebut sebagai “monopoli penalaran”, yakni semacam pengendalian pola pikir murid oleh sekolah, sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Robert Dreeben dalam On What Is Learned in School, bahwa sekolah melakukan pengajaran hal-hal yang sesuai dengan kepentingan yang ada (negara maupun budaya). Dengan menciptakan kebakuan-kebakuan dalam pembelajaran terkait norma maupun pengetahuan, sekolah telah memonopoli penalaran. Monopoli penalaran ini didukung oleh ‘fantasi prestasi’ dalam perlombaan.

Mendesak Satuan Pendidikan yang Lebih Mutakhir

      Selain sumber daya manusia yang harus dimutakhirkan, satuan pendidikan pun harus dimutakhirkan pula sebagai salah satu tempat terlaksananya proses pendidikan. Jika satuan pendidikan–dalam hal ini sekolah–tidak mendukung pelaksanaan pembelajaran atau pun pengembangan-pengembangan lainnya, cita-cita kemajuan pendidikan Indonesia Emas 2045 hanya menjadi ilusi.

    Seperti yang kita ketahui, kesenjangan pendidikan di negeri ini merupakan hal yang tidak pernah terselesaikan. Sebagai contoh paling sederhana, sarana serta prasarana sekolah di perkotaan dengan di pedesaan sudah sangat berbeda jauh; entah apa pun alasannya. Ini ironi yang tak bisa ditutupi. Di satu sisi, kita menginginkan pendidikan yang lebih maju, akan tetapi di lain sisi pemerintah kita enggan memajukan lapangan pendidikan itu sendiri, padahal hal tersebut sesuai dengan amanat pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.

        Pemerintah kita terlalu banyak melakukan pencitraan dibanding bergerak secara konkret di lapangan. Bukan rahasia lagi jika berbagai seremonial dilakukan demi citra pendidikan yang lebih segar kulitnya, sedangkan daging buahnya hanya sedikit yang peduli.

    Sebetulnya, teori pendidikan kita sudah terlampau mutakhir dengan banyaknya inovasi yang ditawarkan, seperti model pembelajaran yang lebih modern, metode yang lebih mampu membelajarkan peserta didik, pendekatan-pendekatan yang lebih relevan dengan zaman, entah itu filsafat, psikologi, dll, serta media pembelajaran yang sudah lebih canggih.

       Akan tetapi, gemerlapnya inovasi pendidikan tersebut tidak didukung dengan sumber daya. Lapangan pendidikan yang lebih mutakhir hanya seperti gemerlap bintang di siang hari. Kemalasan berpikir maupun pemikiran tua dan usang yang ditunjukkan oleh para pendidik atau calon pendidik sudah bukan lagi hal yang patut dinormalisasi, sudah saatnya kebermanfaatan, kebebasan, kemerdekaan, serta kemutakhiran pendidikan di negeri ini didapatkan dan diperjuangkan. 

       Kemajuan teknologi yang kian melesat cepat tanpa di timang-timang oleh setiap kita dengan kritis dan persiapan diri maka kita lah yang akan menjadi korban dari keganasan teknologi tersebut bahkan menjadi budak dari teknologi itu sendiri, ia akan menggilas dengan gila.

         Apabila narasi kemajuan tak disikapi secara kritis, ia akan menjadi malapetaka bagi manusia. Sebut saja kemajuan teknologi yang ditengarai mampu mengubah nasib hidup manusia. Alih-alih mempermudah hidup, teknologi justru menghadirkan permasalahan yang kian mengikis kemanusiaan, salah satunya memudarnya rasa empati terhadap sekitar karena kita dibuat sibuk dengan gadget masing-masing. Kesibukan kita teralihkan dan eksistensi kemanusiaan terancam. Acap kali persoalan di atas luput dalam pandangan dan praksis kita sehari-hari. Miris bukan?

Leiden is Lijden: Minggat Adalah Jalan Perjuangan

Saya menyukai film yang bertemakan atau berlatar peperangan. Salah satu judul film peperangan yang saya tonton lebih dari tiga kali berjudul...