Minggu, 11 Agustus 2024

ERA PETANI YANG TRAGIS: MERINGIS DI NEGERI AGRARIS


        Sekarang ini generasi muda sangat sedikit yang terlibat di dunia pertanian. Dalam jangka panjang, tentu ini akan membahayakan karena pertanian termasuk salah satu pemasok kebutuhan pokok berupa penyediaan pangan.” (Qomarun Najmi, Sektimuda)

        Mengapa anak muda enggan kembali ke desa untuk membangun kampung halaman seusai merantau untuk belajar dan bekerja di kota? Jawabannya lugas dan sederhana: tidak semua anak muda punya privilege dan akses terhadap sumber daya. Mungkin saja orangtua mereka sudah habis-habisan menjual aset lahan untuk biaya kuliah. Menjadi buruh tani adalah nasib yang tak diinginkan oleh orangtua bagi dirinya dan keturunannya. Juga, ada anggapan bahwa pulang ke desa hanya bagi mereka yang kalah dan tak mampu bersaing di kota.

            Banyak anak muda yang membayangkan kehidupan seindah ini: Bekerja sebagai petani di siang hari, membaca buku dan mengamati bintang di malam hari, dengan sesekali nyambi sebagai Youtuber dan content creator, semata romantisasi “cottagecore”. Kenyataannya, bertani adalah pekerjaan berat dan hasilnya tidak sebanding dengan modal waktu, tenaga, biaya, dan pikiran – termasuk harus berkorban perasaan.

        Ayah dan adik saya adalah saksi hidup ketidakpastian nasib petani. Mereka bertani karet dan sayur mayur untuk memenuhi kebutuhan hidup. Setiap bulan mereka tetap membutuhkan suntikan dana tambahan untuk membeli kebutuhan tani, entah itu bibit dan benih, atau pupuk dan pakan, atau bayar upah pegawai harian yang membantu di lahan milik keluarga. Saat panen tiba, bukan laba yang dituai sebagai imbalan setelah bekerja membanting tulang, melainkan rasa dongkol karena harga jual hasil panen tak sebanding dengan modal yang keluar. Pengalaman pahit keluarga saya juga menimpa banyak petani di negara yang membanggakan diri sebagai negara agraris ini.

        Setidaknya, ada tiga penyebab utama di balik kenyataan pahit yang harus diterima petani Indonesia.

   Pertama, kebijakan pemerintah yang mengakibatkan ketergantungan kita terhadap impor produk pertanian. Produk gandum yang kita tidak kuasai cara menanam dan teknologinya justru kita impor hingga 18,9 persen dari pangan nasional. Selain itu, banyak warga tidak lagi mengenal pangan lokal seperti ganyong, gembili, sorgum, sagu, sukun, dan berbagai jenis umbi, yang dulunya dipergunakan sebagai sumber pangan utama atau produk cadangan dan substitusi pangan nasional.

      Kedua, pergeseran pola konsumsi dari produk pangan lokal menjadi produk pangan dari luar, yang dapat mengakibatkan kerawanan dan perebutan sumber daya. Pangan lokal kian hari kian terpinggirkan. Kebijakan penyeragaman makanan pokok berupa beras yang sistematis, terstruktur dan masif dari Sabang sampai Merauke, membuat kerawanan pangan semakin mengancam. Lihat saja bagaimana tahun 2005 terjadi bencana kelaparan di Yahukimo, Papua yang merenggut sekitar 128 nyawa. Tragedi kemanusiaan ini diduga akibat cuaca buruk dan gagal panen. Namun perubahan kebiasaan makan beras sejatinya merupakan akar masalah kerawanan pangan karena sebelumnya warga menanam dan mengonsumsi umbi-umbian yang tumbuh subur di sini.

        Ketiga, budaya agraris mulai ditinggalkan. Hari Tani Nasional, yang rutin diperingati setiap tanggal 24 September, menjadi pengingat bahwa nasib petani Indonesia masih jauh panggang dari api. Petani sejak awal dikonstruksi untuk menghasilkan pangan sebagai komoditas, sebagai penyangga pangan nasional, bukan semata pemenuhan kebutuhan subsisten perorangan.

      Saat ini, sekitar 62% petani di Indonesia berusia di atas 45 tahun, sementara para milenial lebih memilih beragam profesi yang mentereng di kota, sebagai profesional di perusahaan, pegawai negeri di kantor pemerintah bahkan menjadi selebgram. Bagaimana mengubah pola pikir bahwa bertani itu keren dan prospeknya menjanjikan? Jika generasi muda enggan menjadi petani, siapa yang akan jadi penyedia pangan bagi 270 juta orang Indonesia?

Pendampingan masyarakat guna memastikan bahwa komunitas dampingan punya sumber penghasilan alternatif, pemerintah perlu mengubah kebijakan dan pendekatan yang terbukti tidak efektif di lapangan. Juga perlu ada upaya edukasi terus menerus mengenai ketahanan pangan melalui pertanian yang berkelanjutan dan menyejahterakan.

Belajarlah dari kiprah Marzuki Mohamad, musisi pendiri kelompok Jogja Hip Hop Foundation, yang membantu para petani di Dusun Banjarsari, Klaten, Jawa Tengah, kampung halamannya. Sejak tujuh tahun lalu ia mendirikan kelompok petani muda desa sebagai wadah belajar bersama metode baru pertanian dan pengembangan usaha produksi beras dari hulu ke hilir. Kini sudah ada unit produksi UD Anarkisari dengan produksi beras jenis C4 yang dibanderol Rp 12.500 per kilogram, relatif lebih tinggi dan menguntungkan petani, karena memotong rantai distribusi. Prinsip Marzuki: “Desa harus kuat biar tidak ditinggal oleh anak-anak mudanya, pun, pertanian menjadi gaya hidup yang menyenangkan bagi mereka”. Tanpa dijadikan komoditas dan jargon politik, petani muda terbukti bisa berdaya di desa.

Bertani harus berkelanjutan secara ekonomi dan ekologi. Pemberdayaan pun tidak bisa dilakukan dengan program-program top down, melainkan harus berdasar pada assessment di lapangan (bottom up), sehingga sesuai dengan kebutuhan petani.

Lebih dari lip service, jadikanlah hasil tani lokal menjadi primadona di negeri sendiri. Stop kebijakan impor bahan pangan yang meruapkan aroma rente dan merugikan petani.

Terakhir, daripada memberikan bantuan sosial yang bersifat derma berupa barang, sebaiknya pemerintah menyediakan fasilitas pinjaman berupa Kredit Usaha Rakyat/KUR dengan skema yang jelas dan menguntungkan.

Jangan sampai petani milenial meringis di negeri agraris. Yuk bisa yuk, yang muda yang bertani di Indonesia.

"KARTU KUNING UNTUK DOSEN MENGAJAR"

"Nak bapak ada rapat hari ini, semua nya di ganti dengan tugas hal bla...bla....bla..."

"Nak sekarang ibu lagi di luar kota, Karna ada urusan mendadak. Jadi kuliah hari ini kita libur"

"Nak bapak agak nya terlambat masuk Karna ini dan itu, jadi tunggu aja dulu ya"

Ini mungkin beberapa alasan yg kerap kita temukan dari seorang dosen atau pengajar bahkan tidak hanya di bangku perkuliahan, SD, SMP, SMA. Atau strata manapun. 

"Horeeeee.... Libur lagi nih"

"Yesssss ga masuk kuliah, bisa tidur seharian nih"

"Yah kosong lagi hari ini"

Dan itu beberapa reaktif dari beberapa mahasiswa yg kerap kita dengar.

Pernah suatu waktu, saya, sebagai mahasiswa baru, sangat bersemangat untuk berangkat kuliah. Pagi itu saya buru-buru menghabiskan sarapan karena takut terlambat datang ke kampus. Bahkan saya mengabaikan panggilan alam yang menghantui jiwa dan raga sepanjang perjalanan. 

Tiba di kampus, saya bertemu teman sekelas yang kusut wajahnya. Terlihat sekali bahwa dia belum menunaikan bersih diri. Kami berbincang terkait pembelajaran dan harapan orang tua pada anaknya yang sedang kuliah sembari menghayati perjalanan menuju kelas.

Saat bertemu dengan teman-teman lain di depan ruang perkuliahan, nahas, tiba-tiba sang dosen, makhluk yang akan memberi kami pengetahuan, memberitahukan secara mendadak bahwa dia tidak bisa hadir karena ada beberapa urusan. Mendengarnya, jelas kami yang sudah tiba kampus kecewa.

Dikecewakan

Kabar ini membuat suara panggilan alam yang tadinya menghantui saya sepanjang perjalanan tidak lagi menggema. Waktu itu saya hendak angkat suara tuk meminta kepedulian sang dosen. Namun, salah seorang kawan mengingatkan apa yang pernah dikatakan senior terkait makhluk bernama dosen ini. Katanya, dosen memiliki dua aturan utama, yang pertama adalah mereka tidak pernah salah. Kedua, kalau salah, kembali ke peraturan pertama.

Saya mencoba ikhlas. Barangkali fenomena dosen tidak jadi masuk kelas ini telah ditulis di lauhul mahfudz oleh Sang Maha Kuasa sebelum segala sesuatu ada. Beberapa teman memutuskan tuk ngopi dalam rangka menghibur diri, ada juga yang semringah karena mendapatkan waktu lebih tuk berkencan, ada pula yang mencari tempat lain tuk melakukan pembelajaran. Tidak sedikit yang pasrah dengan keadaan. 

Saat hendak kembali ke rumah tuk membuang sisa-sisa emosi, beberapa teman bergumam pada saya terkait orang tua mereka yang semringah melepas keberangkatan anaknya pergi kuliah. Jelas mudah ditebak bagaimana perasaan orang tua mereka jika mengetahui bahwa anak kesayangannya ternyata ditelantarkan oleh makhluk aneh. Sebutan ini cocok disematkan pada makhluk ini karena dia adalah ciptaan Tuhan yang (jangan-jangan) tugasnya memang membuat manusia heran.

Sulit untuk ikhlas

Melihat kondisi ini, keikhlasan yang telah datang, saya tunda sementara sembari berspekulasi bahwa jangan-jangan dosen menyebalkan ini adalah orang yang dimatikan hatinya oleh Tuhan. Seperti yang tertulis dalam kitab suci dan saya langsung ingat ungkapan satir Syarif Maulana yang penuh hikmah: “Aku mengajarkanmu keikhlasan agar hakmu dapat kuambil tanpa perlawanan.”

Masalahnya adalah, fenomena ini bukan terjadi sekali atau dua saja. Jika dihitung seberapa sering, bahkan pada seorang mahasiswa baru seperti saya, mungkin akan setara dengan seringnya pejabat negeri ini melakukan korupsi. 

Saya menyadari bahwa tidak semua dosen memiliki kelakuan menyebalkan seperti ini. Pasti ada dosen yang sangat perhatian dan menghargai para mahasiswa. Saya jadi curiga, dosen seperti ini adalah spesies langka. Saya sebut langka sesuai data yang ada di kepala saya dari cerita senior dan beberapa cerita lainnya yang perlu diwaspadai kepunahannya. Poin saya bukan pada apakah semua dosen seperti ini. Saya ingin setidaknya mengetuk hati nurani mereka yang menyebalkan dan abai terhadap tanggung jawab.

Perlahan mengamati fenomena ini, sebenarnya saya masih ingin memilih tuk sabar dulu. Sebab, biasanya, saya langsung koar-koar kalau ada fenomena nggemesin seperti ini. Namun, saat teman saya yang rajin mengunggah status WhatsApp tak lama saat ada tiga dosen dalam satu hari yang menyatakan tidak masuk kelas, sehingga menyebabkan hari itu tidak ada perkuliahan sama sekali, yang berisi curhatan tentang pertanyaan orang tuanya terkait mengapa kok sering tidak ada jam kuliah di kampus, padahal orang tuanya sudah banyak berkorban agar dia dapat menempuh perkuliahan. Saat melihat status teman saya tersebut, entah kenapa timbul sesak di dada. Terbesit langsung gambaran tentang semangat seorang mahasiswa dalam berkuliah, yang di baliknya ada keringat orang tua dalam mencari nafkah. Saat melihat status teman saya tersebut, entah kenapa timbul sesak di dada. Tebesit langsung gambaran tentang semangat seorang mahasiswa dalam berkuliah, yang di baliknya ada keringat orang tua dalam mencari nafkah. 

Rasa sesak di dada yang kemudian membuat saya tak dapat diam saja melihat penelantaran ini. Hal ini juga membuat saya menolak mentah-mentah ucapan senior pada teman saya terkait aturan “selalu benar”.

Anggapan yang sejak lama sudah keliru

Saya menduga banyak dosen yang beranggapan bahwa mahasiswanya lebih senang kalau mereka tak masuk kelas. Yah, anggapan ini tak sepenuhnya salah sebab memang tidak sedikit mahasiswa yang justru senang apabila dosennya tidak mengajar. 

Ada pula anggapan bahwa mahasiswa justru senang jika dosennya tak mengajar. Anggapan ini secara tak sadar datang dari suatu persepsi bahwa kuliah bukan suatu aktivitas yang menyenangkan. Jadi, dia tak merasa ada gairah tulus tuk datang. Keberadaan persepsi ini jelas menandakan adanya problem dalam pola dan metode pembelajaran. Beberapa orang yang penalarannya tidak terlalu dalam mungkin mengatakan bahwa belajar itu memang tidak menyenangkan dan harus penuh kesabaran. Hal ini senada dengan ungkapan “Aku mengajarkanmu kesabaran, supaya kamu memaklumi penindasan yang aku lakukan.”

Belum lagi kalau ada dosen ada yang mengatasnamakan kurikulum merdeka belajar sebagai alasan dia tidak mengajar. Setelah itu dia bilang bahwa mahasiswa harus merdeka dalam belajar. Mahasiswa harus belajar sendiri dan tak boleh menuntut. 

Di sini, dosen hanya sebagai motivator. Saat “merdeka belajar” ditafsirkan secara neoliberal, sehingga membuat seorang dosen/guru melepaskan tanggung jawabnya dalam mengajar, saat itulah pikiran mereka remuk dan kurang ajar. Nah, di sini kita perlu memahami bahwa spesies homo sapiens ini tidak tiba-tiba menjadi makhluk yang aneh, jelas ada penyebab-penyebab yang melatarbelakanginya.

Wahai dosen dan mahasiswa, bersatulah!

Salah satu dosen yang sering berdiskusi dengan saya pernah bercerita terkait betapa banyaknya urusan administrasi, tugas-tugas dari kampus, garapan proposal, dan laporan-laporan yang menghantuinya. Dia berkata pada saya “Wah gila, jadi dosen itu padatnya minta ampun, ditekan administrasi sana-sini, belum lagi proposal, kepanitiaan, laporan, dan hal-hal administratif yang membuat kami sulit tuk riset secara serius apalagi berinteraksi intens dengan para mahasiswa. Bahkan tidak sedikit loh dosen yang dibuat mirip sekrup pabrik oleh kampus.” Belum lagi jika mereka punya masalah di rumah dan berimbas ke performa ketika mengajar.

Kita jelas harus memahami pula problem-problem pengganggu mental health para dosen yang melatarbelakangi timbulnya sifat aneh. Tapi tetap saja, sepelik apa pun problemnya, tanggung jawab dalam memberi pengajaran dan pendidikan pada mahasiswanya tidak akan hilang! 

Jika kita renungkan, kita menjadi paham bahwa baik dosen maupun mahasiswa sama-sama dijebak problem yang pelik oleh kampusnya. Mahasiswa ingin belajar namun dosennya tidak ngajar, dosennya pengin ngajar tapi kampus menyibukkannya dengan administrasi, ngurus proposal, kepanitiaan, dan seminar. 

Menanggapi kepelikan ini, kiranya kita perlu menyatakan seruan lantang wahai mahasiswa dan dosen, bersatulah!!!

Lawan kampus yang “aneh”

Lalu, kita perlu memindahkan predikat “aneh” pada kampus, karena ialah sejatinya dalang di balik hal menyebalkan ini. Kita perlu solid dalam menghadapi problem ini. Bisa dimulai dengan dosen yang jujur akan masalah yang ada (sebab mendidik itu ialah melawan praktik-praktik penindasan), lalu mahasiswa membantu mengadvokasinya. Sebab, bila dosen langsung yang protes pada kampus, mereka rentan tuk disingkirkan dari peradaban karena tak memiliki kekuasaan.

Sementara itu, mahasiswa memiliki posisi unik (sebagai sumber daya kampus) untuk melawan. Kampus adalah “dalang” di balik fenomena menjengkelkan ini. Akankah kita diam melihat tempat belajar kita yang remuk hingga pengetahuan ambruk? Atau kita bersuara lantang dan tidak hanya mengangguk tentu tetap santuy dan diiringi kelangopan. 

Tapi, jika ternyata ditemukan bahwa memang dosen itulah yang tidak mau mengajar langsung, maka ialah seremuk-remuknya makhluk, semoga hidayah datang padanya.

Sabtu, 10 Agustus 2024

PARADOKS PENDIDIKAN DAN TEKNOLOGI : MATINYA LIBIDO PENDIDIKAN TRANSFORMATIF ANAK BANGSA

   Tulisan ini lahir dari diskusi kecil yg berlangsung oleh beberapa orang saja, di saat kami ingin mencoba meresolusi sebuah gerakan besar dalam dedikasi untuk beberapa aspek terutama pendidikan, Literasi, Ekonomi, dan transformasi tatanan sosial ke arah masyarakat yg berfikir. 

        Sebuah grand design gerakan sosial memang bersandar pada keikhlasan serta kontemplasi pada tentang hakikat keberadaan kita sebagai orang yg berfikir dan terdidik apalagi diasuh dan diasuh dalam organisasi. Semoga bisa bermanfaat dan bisa mencerahkan.

      “Sekumpulan teori hanya akan menghasilkan teori lainnya,” begitu lebih kurangnya ucap Seno Gumira Ajidarma dalam sebuah acara webinar mengenai kritik sastra beberapa tahun lalu. Aku pun mengamini yang dikatakan SGA ketika itu. Teori, alih-alih mampu diterapkan di lapangan, terkadang hanya menjadi sebatas kritik tanpa ada sesuatu untuk ditawarkan. 

  Selanjutnya, hal serupa diamini oleh Mohammad Rafi Azzamy dalam tulisannya yang berjudul, “Kita Butuh Gerakan Sosial yang Lebih Mutakhir”. Menurutnya akan lebih masuk akal jika sebuah gerakan sosial tidak hanya sebatas kritik, tetapi juga menawarkan sebuah solusi jitu terhadap permasalahan yang dikritiknya–sebuah gerakan sosial yang lebih pragmatis, mungkin.

        Tidak hanya kritik teori sastra yang semakin berkembang secara luas, lebih maju, serta inovatif. Dalam pendidikan, berbagai teori dan inovasi paling mutakhir juga terus dikembangkan seiring berjalannya arus zaman. Akan tetapi, permasalahannya adalah terkadang teori yang dikembangkan tersebut terlampau mutakhir untuk digunakan di lapangan. 

SDM dan Lapangan yang Kurang Mutakhir

Komponen penggerak dalam pendidikan salah satunya adalah guru atau pendidik. Tugasnya, jika mengutip Oemar Hamalik, yaitu menyelenggarakan pembelajaran, melatih, meneliti, mengembangkan, mengelola, serta memberikan pelayan teknis lainnya dalam bidang pendidikan. Pendidik harus memenuhi kualifikasi di bidang pendidikan yang sesuai dengan standar kompetensinya–pedagogis, kepribadian, sosial, dan profesional. d ilanggengkan, sejatinya pendidikan kita layaknya zombie, ia tak hidup, pun tak mati; ia bergerak tetapi tak bebas.

     Hari hari ini pula kita dipertontonkan bagaimana setiap pendidikan memang tidak semua nya namun hampir semua nya kemudian menunggangi pemikiran pemikiran para siswa dan siswi lalu memenjarakanya dengan ayunan ayunan prestasi dan mendesak nya tanpa kompetisi dan kompetensi yg sehat.

      Seperti yang dijelaskan oleh Philip Wexler dalam Education in a Changing Society. Negara menggunakan sekolah untuk menyebarkan propagandanya, agar manusia-manusia di dalam sekolah dapat menjadi warga yang paham dan diam akan aturan-aturan yang ada, dan prestasi di sini adalah alat yang sangat efektif untuk melakukannya.

        Pengajaran-pengajaran di sekolah sangat erat dengan apa yang disebut sebagai “monopoli penalaran”, yakni semacam pengendalian pola pikir murid oleh sekolah, sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Robert Dreeben dalam On What Is Learned in School, bahwa sekolah melakukan pengajaran hal-hal yang sesuai dengan kepentingan yang ada (negara maupun budaya). Dengan menciptakan kebakuan-kebakuan dalam pembelajaran terkait norma maupun pengetahuan, sekolah telah memonopoli penalaran. Monopoli penalaran ini didukung oleh ‘fantasi prestasi’ dalam perlombaan.

Mendesak Satuan Pendidikan yang Lebih Mutakhir

      Selain sumber daya manusia yang harus dimutakhirkan, satuan pendidikan pun harus dimutakhirkan pula sebagai salah satu tempat terlaksananya proses pendidikan. Jika satuan pendidikan–dalam hal ini sekolah–tidak mendukung pelaksanaan pembelajaran atau pun pengembangan-pengembangan lainnya, cita-cita kemajuan pendidikan Indonesia Emas 2045 hanya menjadi ilusi.

    Seperti yang kita ketahui, kesenjangan pendidikan di negeri ini merupakan hal yang tidak pernah terselesaikan. Sebagai contoh paling sederhana, sarana serta prasarana sekolah di perkotaan dengan di pedesaan sudah sangat berbeda jauh; entah apa pun alasannya. Ini ironi yang tak bisa ditutupi. Di satu sisi, kita menginginkan pendidikan yang lebih maju, akan tetapi di lain sisi pemerintah kita enggan memajukan lapangan pendidikan itu sendiri, padahal hal tersebut sesuai dengan amanat pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.

        Pemerintah kita terlalu banyak melakukan pencitraan dibanding bergerak secara konkret di lapangan. Bukan rahasia lagi jika berbagai seremonial dilakukan demi citra pendidikan yang lebih segar kulitnya, sedangkan daging buahnya hanya sedikit yang peduli.

    Sebetulnya, teori pendidikan kita sudah terlampau mutakhir dengan banyaknya inovasi yang ditawarkan, seperti model pembelajaran yang lebih modern, metode yang lebih mampu membelajarkan peserta didik, pendekatan-pendekatan yang lebih relevan dengan zaman, entah itu filsafat, psikologi, dll, serta media pembelajaran yang sudah lebih canggih.

       Akan tetapi, gemerlapnya inovasi pendidikan tersebut tidak didukung dengan sumber daya. Lapangan pendidikan yang lebih mutakhir hanya seperti gemerlap bintang di siang hari. Kemalasan berpikir maupun pemikiran tua dan usang yang ditunjukkan oleh para pendidik atau calon pendidik sudah bukan lagi hal yang patut dinormalisasi, sudah saatnya kebermanfaatan, kebebasan, kemerdekaan, serta kemutakhiran pendidikan di negeri ini didapatkan dan diperjuangkan. 

       Kemajuan teknologi yang kian melesat cepat tanpa di timang-timang oleh setiap kita dengan kritis dan persiapan diri maka kita lah yang akan menjadi korban dari keganasan teknologi tersebut bahkan menjadi budak dari teknologi itu sendiri, ia akan menggilas dengan gila.

         Apabila narasi kemajuan tak disikapi secara kritis, ia akan menjadi malapetaka bagi manusia. Sebut saja kemajuan teknologi yang ditengarai mampu mengubah nasib hidup manusia. Alih-alih mempermudah hidup, teknologi justru menghadirkan permasalahan yang kian mengikis kemanusiaan, salah satunya memudarnya rasa empati terhadap sekitar karena kita dibuat sibuk dengan gadget masing-masing. Kesibukan kita teralihkan dan eksistensi kemanusiaan terancam. Acap kali persoalan di atas luput dalam pandangan dan praksis kita sehari-hari. Miris bukan?